Gugurnya Istilah "Wahabisme Lingkungan" Gus Ulil di Pusaran Bencana

Sukabumiupdate.com
Selasa 02 Des 2025, 18:00 WIB
Gugurnya Istilah "Wahabisme Lingkungan" Gus Ulil di Pusaran Bencana

Tangkapan layar debat panas Saling Sanggah Greenpeace dan PBNU soal Tambang Nikel Raja Ampat | ROSI di Kompas TV (Sumber:youtube)

SUKABUMIUPDATE.com - Tragedi banjir bandang dan longsor di Sumatera di akhir tahun 2025 ini telah mengubah perdebatan filosofis menjadi persidangan etis di mata publik. Ketua Lakpesdam PBNU, KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil), kini menghadapi gelombang kemarahan yang melabeli argumennya sebagai pembenaran intelektual bagi kerusakan alam yang merenggut nyawa. Kasus ini bukan sekadar serangan pribadi, melainkan benturan keras antara filsafat pembangunan utilitarian yang diusung Ulil dengan realitas lingkungan yang brutal.

Dari sudut pandang teknologi, kasus Gus Ulil adalah studi kasus klasik tentang Jejak Digital (Digital Footprint) dan bagaimana ekonomi perhatian (attention economy) bekerja melalui algoritma. Jejak digital adalah setiap data yang ditinggalkan individu saat berinteraksi dengan dunia digital mulai dari unggahan, komentar, hingga video lama diunggah. Dalam konteks Gus Ulil, video debatnya yang berjarak enam bulan adalah jejak pasif yang dihidupkan kembali (resurrected) secara tiba-tiba oleh Algoritma Relevansi platform media sosial. Ketika terjadi bencana alam (sebuah trigger event yang sangat viral), netizen mulai mencari narasi yang bisa menjelaskan krisis tersebut.

Kata kunci seperti "hutan gundul," "tambang," atau "lingkungan" memicu algoritma untuk menaikkan konten yang sebelumnya dormant (tertidur) dan menghubungkannya dengan isu terkini. Ini menciptakan lingkaran umpan balik (feedback loop) yang mempercepat penyebaran konten lama, mengubahnya dari arsip menjadi straight news yang hyper-relevant. Dampaknya bukan lagi sekadar interaksi online, melainkan menghasilkan konsekuensi dunia nyata (real-world consequences) berupa "teror" dan ancaman, membuktikan bahwa di era konektivitas total, tidak ada ucapan publik yang benar-benar terhapus atau kadaluarsa.

Baca Juga: Mulai 2028 Dana Nasabah Asuransi Dijamin Negara, LPS: Ada Wacana Dipercepat

Kini, santer beredar kabar di berbagai platform sosmed tentang telepon dan WhatsApp Gus Ulil dibombardir ancaman dan makian sejak jejak digital video debat Juni 2025 di Kompas TV kembali viral. Dalam debat tersebut, saat terdesak oleh tantangan Iqbal Damanik (Greenpeace) untuk menunjukkan satu saja konsesi tambang/sawit yang berhasil dikembalikan ke ekosistem awal (Jawaban: Nol), Gus Ulil melancarkan serangan filosofis.

"Kenapa Anda begitu peduli untuk mengembalikan ekosistem awal?" tanyanya, sebelum menyimpulkan bahwa aktivis lingkungan yang ingin menjaga kemurnian alam adalah penganut "Wahabisme Lingkungan." Logika yang menyamakan puritanisme teks agama dengan puritanisme alam ini dianggap publik sebagai upaya cerdik untuk mendelegitimasi kritik terhadap eksploitasi industri.

Menurut Ulil, alam berubah itu wajar, dan menolak tambang secara total adalah sikap ekstrem, karena tambang dan pohon adalah anugerah Tuhan yang harus diekstraksi.

Inti dari argumen Gus Ulil adalah konsep "Good Mining Practice" atau "Reasonable Environmentalism," yaitu pengelolaan pertambangan yang bertanggung jawab dan menempuh "jalan tengah," bukan penolakan total. Namun, justru di sinilah argumen itu menemui kehancuran ketika dibenturkan pada data dan tragedi bencana.

Baca Juga: BGN Resmi Tutup Permanen Pendaftaran Mitra Dapur MBG di Seluruh Indonesia: Sudah Ada 30.000 SPPG

Data Kementerian ESDM dan studi akademis menunjukkan bahwa upaya reklamasi lahan bekas tambang memang terus dilakukan, bahkan mencapai 7.920 hektare pada tahun 2023. Beberapa perusahaan, seperti PT Timah Tbk dan PT Vale Indonesia, mengklaim telah berhasil mereklamasi ribuan hektare lahan bekas tambang menjadi kawasan budidaya perikanan, edukasi, hingga penampungan buaya.

Namun, angka ini memiliki celah fatal:

  1. Reklamasi vs. Restorasi Ekosistem: Keberhasilan reklamasi (misalnya, menanam kembali Akasia atau Sengon) tidak sama dengan restorasi ekosistem asli (mengembalikan keanekaragaman hayati hutan primer). Tantangan terbesar pascatambang adalah mengembalikan kesuburan tanah dan membentuk kanopi hutan dalam jangka panjang.
  2. Lubang yang Ditinggalkan: Kasus di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa meskipun reklamasi diklaim berhasil di beberapa area, diperkirakan masih terdapat 1.735 lubang tambang batu bara yang belum terisi kembali. Lubang-lubang ini tidak termasuk dalam perhitungan jaminan reklamasi dan terus menelan korban jiwa.
  3. Banjir sebagai Bukti Kegagalan: Saat banjir bandang melanda Sumatera, yang terlihat bukanlah hutan yang sukses direklamasi, melainkan gelondongan kayu dan tanah gundul yang longsor, menegaskan bahwa praktik yang dominan di lapangan adalah "Bad Mining" yang abai.

Dengan kata lain, janji "Good Mining" ala Gus Ulil terbukti gagal meyakinkan publik dan, yang lebih penting, gagal menghentikan kerusakan lingkungan. Kegagalan empiris inilah yang membuat istilah "Wahabisme Lingkungan" berbalik menjadi bumerang yang menghantam kredibilitas sang filsuf. Publik menilai bahwa di tengah krisis iklim dan bencana, fokus pada perdebatan filosofis tentang "puritanisme" justru mengalihkan perhatian dari kegagalan penegakan hukum dan korupsi perizinan yang menjadi akar masalah.

Baca Juga: Penyebab Utama Banjir Bandang dan Mengapa Kejadian Ini Begitu Berbahaya

Perdebatan ini adalah panggilan bagi kaum intelektual, etika lingkungan tidak bisa lagi menjadi kompromi filosofis yang berjarak, melainkan harus menjadi pertimbangan praktis yang mendesak di hadapan nyawa dan bumi yang terancam.

Tragedi di Sumatera secara telak membuktikan bahwa antara nalar dan lahan, yang terakhir selalu yang paling menentukan nasib manusia. Argumentasi filosofis K.H. Ulil Abshar Abdalla mengenai "Wahabisme Lingkungan" kini harus menanggung beban moral dari ratusan korban jiwa dan hancurnya infrastruktur. Meskipun upaya reklamasi lahan bekas tambang secara parsial diklaim sukses oleh beberapa korporasi sebuah data yang mendukung gagasan reasonable environmentalism kenyataannya, kegagalan dalam menjaga daya dukung lingkungan secara menyeluruh telah terbayar mahal. Kontroversi ini bukan hanya tentang kebebasan berpendapat, melainkan tentang tanggung jawab intelektual: ketika teori bertemu bencana, publik menuntut akuntabilitas atas setiap kata yang berpotensi melanggengkan kerusakan.

Gelombang "teror" digital yang menghantam Gus Ulil adalah manifestasi dari titik didih emosi dan frustrasi kolektif. Netizen menggunakan jejak digital sebagai senjata impeachment moral, menolak argumen yang dianggap elitis dan berjarak dari realitas pahit di lapangan. Kasus ini menjadi alarm bagi para pembuat kebijakan dan intelektual di Indonesia: perdebatan tentang ekologi tidak bisa lagi hanya berkutat pada puritanisme atau jalan tengah yang abstrak, tetapi harus berfokus pada penegakan hukum yang tegas dan restorasi ekosistem yang jujur. Bumerang "Wahabisme Lingkungan" mengajarkan bahwa di hadapan krisis iklim, keadilan ekologis harus menjadi prinsip yang tidak bisa dikompromikan.

Kasus KH Ulil Abshar Abdalla adalah epilog pahit yang menegaskan kedaulatan Algoritma Reaktivasi atas nalar seorang intelektual. Dari sudut pandang teknologi dan komunikasi, argumen "Wahabisme Lingkungan" Gus Ulil adalah sebuah Jejak Digital yang pasif, namun algoritma media sosial, dipicu oleh tragedi nyata banjir bandang, secara brutal mengaktifkannya kembali dan menjadikannya viral. Ini adalah pelajaran krusial tentang Ekonomi Perhatian: bahwa konten lama tidak pernah hilang, melainkan hanya dormant, menunggu peristiwa pemicu (trigger event) yang masif untuk dihidupkan kembali, didistribusikan secara masif oleh Algoritma Relevansi, dan diposisikan sebagai narasi kausal di tengah krisis. Teknologi telah menghapus batas waktu dan konteks, mengubah debat akademis di masa lalu menjadi amunisi instan yang memicu konsekuensi dunia nyata ancaman dan makian membuktikan bahwa di era hyper-konektivitas, permanensi digital adalah realitas paling keras yang menguji setiap ucapan publik.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini