SUKABUMIUPDATE.com - Bencana banjir, banjir bandang, dan tanah longsor yang menghantam tiga provinsi di Sumatera Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kian memicu desakan agar pemerintah menetapkannya sebagai Bencana Nasional. Dalam analisisnya yang tajam di kanal YouTube, Ferry Irwandi memaparkan alasan fundamental mengapa pemerintah pusat harus mengambil alih penanganan, melampaui sekadar respons tanggap darurat daerah.
Data terbaru menunjukkan skala kehancuran yang sudah jauh melampaui ambang batas kemampuan penanganan pemerintah provinsi. Hingga laporan ini diolah, 164 jiwa telah melayang, ratusan ribu orang terdampak langsung, dan sedikitnya 42 kota serta kabupaten mengalami kerusakan parah.
Dampaknya bukan hanya angka statistik; ini adalah cerita tentang hilangnya rumah, hancurnya nyawa, dan terputusnya urat nadi infrastruktur. Banyak wilayah terisolasi, layanan dasar seperti air bersih dan listrik berubah menjadi kemewahan. Kerusakan yang masif, melibatkan lebih dari satu provinsi, serta meluasnya dampak sosial-ekonomi (termasuk kenaikan harga kebutuhan pokok dan BBM), secara otomatis memenuhi kriteria formal untuk peningkatan status bencana.
Baca Juga: Jalan Rusak Berat di Sukabumi Capai 507 Km, Dinas PU Butuh Rp1,3 T untuk Kemantapan 80 Persen
Ferry Irwandi menegaskan bahwa tragedi di Sumatera ini adalah hasil dari kombinasi mematikan tiga faktor, bukan semata takdir alam.
- Cuaca Ekstrem (Pemicu Langsung): Kemunculan dua siklon tropis, Siklon Tropis Yarr dan Siklon Tropis Koto, memicu curah hujan yang mencapai intensitas luar biasa, bahkan menyentuh angka 800 mm/jam.
- Kerusakan Ekosistem (Akselerator Bencana): Inilah faktor yang paling disoroti. Kehadiran kayu-kayu gelondongan besar yang ikut hanyut bersama air bah menjadi bukti investigatif. Deforestrisasi, illegal logging, dan pembukaan lahan yang tak terkendali telah menghilangkan fungsi hutan sebagai penyangga dan penyerap air. Hilangnya "penjaga" alam ini membuat air hujan langsung berubah menjadi kekuatan destruktif.
- Masalah Tata Ruang (Cacat Kebijakan): Di beberapa daerah, pemerintah lokal diduga mengabaikan peringatan akademis terkait risiko bahaya di lokasi-lokasi permukiman tertentu. Kesalahan dalam perencanaan tata ruang membuat masyarakat rentan menjadi korban saat alam murka.
Menjelang penutupan tahun, krisis hidrometeorologi mencapai puncaknya. Akhir November 2025 diwarnai duka mendalam saat gelombang banjir bandang dan longsor menerjang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Suara Kritis yang Menggugat Paradigma
Ferry Irwandi, yang dikenal publik sebagai kreator konten dengan fokus analisis sosial-politik dan isu-isu publik, kembali menunjukkan perannya sebagai jurnalisme warga yang tidak hanya meratapi dampak bencana, tetapi secara sistematis mengurai akar masalahnya, menolak narasi tunggal tentang takdir alam.
Dalam pandangannya, bencana ini adalah cerminan kegagalan struktural dan kebijakan yang permisif terhadap kerusakan lingkungan. Pendekatan Ferry yang humanis namun tajam ini memaksa publik dan pembuat kebijakan untuk melihat lebih dalam: bencana alam adalah hasil dari interaksi kompleks antara alam dan kelalaian manusia.
Baca Juga: Hutan Kita Menjerit! Dampak Nyata Kehilangan 10 Juta Hektar Hutan Indonesia
Inti dari argumen Ferry terletak pada upaya menghubungkan keruntuhan ekosistem dengan kebijakan politik dan tata ruang yang cacat. Sorotannya terhadap keberadaan kayu-kayu gelondongan besar yang terbawa arus menjadi bukti investigatif, yang secara implisit menunjuk pada maraknya illegal logging dan deforestrisasi skala besar. Ia secara eksplisit menempatkan tanggung jawab kehancuran masif ini pada kelalaian pemerintah daerah yang dituding tidak mengindahkan kajian akademis terkait risiko di lokasi permukiman. Ini adalah kritik yang menuntut pertanggungjawaban politik, bukan sekadar respons teknis penanggulangan bencana.
Pandangan Ferry Irwandi melintasi batas geografis bencana. Ia menggunakan momen ini sebagai corong untuk menyuarakan sentimen ketidakadilan yang dirasakan masyarakat di luar Pulau Jawa selama ini. Menurutnya, penetapan status Bencana Nasional bukan hanya soal mobilisasi sumber daya, tetapi simbol pengakuan dan pemerataan kepedulian. Hal ini adalah isu sosial-politik yang krusial mengobati rasa marah dan perasaan dipinggirkan yang telah lama tumbuh. Bagi Ferry, kegagalan menaikkan status adalah kegagalan mengakui bahwa nyawa di Sumatera memiliki nilai yang sama pentingnya dengan nyawa di pusat kekuasaan.
Baca Juga: Jarang Diketahui! Ini Manfaat Kecipir untuk Tubuh dan Imunitas
Sikap Resmi Pemerintah Mengatakan Bencana Masih Tingkat Daerah
Meskipun desakan status Bencana Nasional terus menguat dari berbagai pihak, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memberikan penjelasan mengapa status tersebut belum ditetapkan. Kepala BNPB, Letjen TNI Suharyanto, menegaskan bahwa penanganan bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat saat ini masih ditetapkan sebagai bencana daerah tingkat provinsi.
BNPB berargumen bahwa penanganan masih dapat dikendalikan dan didukung penuh oleh pemerintah pusat melalui skema yang ada, tanpa perlu status formal nasional. Suharyanto mencontohkan, di Sumatera Utara, fokus keseriusan saat ini hanya terpusat di Tapanuli Tengah, sementara wilayah lain dinilai relatif lebih terkendali.
Penjelasan BNPB lebih lanjut menekankan bahwa penetapan status Bencana Nasional adalah keputusan luar biasa yang terikat pada kerangka hukum dan pertimbangan fiskal yang ketat. Sepanjang sejarah Indonesia, hanya dua peristiwa yang pernah menyandang status tersebut, yakni Tsunami Aceh 2004 dan Pandemi Covid-19.
BNPB menilai skala dampak, terutama terkait kesulitan akses dan jumlah korban, dalam bencana Sumatera saat ini belum mencapai ambang batas yang sama dengan dua kejadian tersebut, meskipun ada pengakuan bahwa situasi di media sosial mungkin terlihat mencekam. Keputusan ini juga mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah dan dana siap pakai BNPB, yang dinilai masih mampu menyokong pemulihan, sehingga mobilisasi anggaran lintas sektor luar biasa belum dibutuhkan secara administratif.



