SUKABUMIUPDATE.com - Sebuah kota kecil di ujung Alaska, namanya Utqiağvik. Setiap tahun, tepatnya tanggal 18 November, punya ritual alam yang unik di mana matahari perlahan terbenam dan tidak muncul lagi selama 66 hari. Ya, hampir dua setengah bulan, langit akan gelap terus. Fenomena ini namanya Malam Kutub (Polar Night).
Tapi jangan bayangkan mereka cuma diam dalam gelap. Justru, inilah cerita tentang bagaimana orang-orang di sini tidak hanya bertahan, tapi benar-benar hidup di tengah kegelapan yang begitu panjang.
Awalnya, tubuh kita pasti kaget. Coba deh, tanpa matahari, jam biologis kita langsung kacau. Hormon serotonin yang bikin kita semangat dan senang anjlok. Efeknya, banyak orang jadi gampang lelah, lesu, dan moody. Belum lagi melatonin hormon tidur yang terus diproduksi karena otak dikira masih malam. Jadi ya, rasanya pengen tidur melulu. Belum lagi risiko kurang vitamin D. Repot kan?
Tapi mereka tidak tinggal diam. Mereka punya jurus jitu: terapi cahaya. Pagi-pagi, banyak warga yang duduk di depan light therapy box semacam kotak cahaya terang yang mirip sinar matahari. Otak pun tertipu: “Wah, sudah siang rupanya!” dan tubuh pun jadi lebih segar. Mereka juga pintar, loh. Selain minum suplemen vitamin D, makanan tradisional mereka seperti ikan, daging paus, dan anjing laut sudah kaya nutrisi yang mendukung kesehatan mental. Jadi, alam sudah menyiapkan solusinya.
Baca Juga: Mulai 1 Januari 2026, KDM Wajibkan Semua Desa di Jabar Buka Pos Pengaduan Masyarakat
Tapi percuma saja punya alat canggih kalau tidak punya komunitas yang hangat. Nah, ini kunci sebenarnya. Di Utqiağvik, budaya berbagi masih sangat kuat. Kalau ada yang berhasil menangkap paus, dagingnya akan dibagi ke seluruh desa. Tidak ada yang merasa sendiri. Di sini, “kita sama-sama melewati ini” bukan cuma slogan, tapi benar-benar dijalankan.
Dan ketika luar gelap, yang terang justru di dalam rumah. Ini saatnya mereka berkumpul, bercerita, mengajarkan bahasa Iñupiaq ke anak-cucu, dan menjaga tradisi tetap hidup. Jadi, kegelapan justru mempertajam rasa kebersamaan.
Lalu, setelah 66 hari tibalah momen yang ditunggu-tunggu, Qauġiaq kembalinya cahaya. Meski cuma sebentar, matahari yang menyembul di ufuk itu disambut dengan sukacita besar. Rasanya seperti kemenangan bersama. Sebuah pengingat: kami berhasil lagi melewati musim terberat.
Aurora menjadi salah satu fenomena langit yang menakjubkan dan hanya terjadi di daerah sekitar kutub Bumi | Foto: Pixabay/Photo-view
Salah satu "bonus" yang paling spektakuler dari Malam Kutub di Utqiağvik adalah peningkatan dramatis dalam peluang untuk menyaksikan Aurora Borealis atau Cahaya Utara. Meskipun fenomena Aurora disebabkan oleh interaksi partikel bermuatan Matahari dengan medan magnet Bumi dan oleh karena itu tidak memiliki hubungan sebab-akibat langsung dengan kemiringan sumbu Bumi yang menyebabkan Malam Kutub keadaan langit yang gelap total selama 66 hari merupakan prasyarat ideal bagi penampakan Aurora.
Di garis lintang yang lebih rendah, Aurora hanya terlihat jelas saat malam tiba. Namun, di Utqiağvik selama Malam Kutub, kegelapan terjadi hampir sepanjang waktu, memberikan durasi pengamatan yang jauh lebih panjang dan sering, memungkinkan penduduk dan pengunjung untuk menyaksikan tirai cahaya hijau, merah muda, atau ungu menari melintasi langit Arktik yang beku tanpa harus menunggu malam datang.
Baca Juga: Tanam Pohon dan Aksi Jaga Hutan, Pelajar MTs Nurul Hidayah Waluran Sukabumi di HGN 2025
Matahari yang Kelewat Semangat
Tapi ceritanya belum selesai. Coba tebak begitu musim dingin berlalu, musim panas datang dengan “masalah” yang kebalikan: matahari nggak mau tenggelam!
Selama 80-an hari, matahari bersinar 24 jam penuh fenomena Matahari Tengah Malam (Midnight Sun). Cahaya nonstop ini keren untuk foto, tapi coba bayangkan berusaha tidur jam 10 malam sementara matahari masih nangkring di langit? Inilah giliran otak Utqiağvik berjuang lagi. Kelebihan cahaya ini justru membuat produksi melatonin terhambat total. Kita harus force tubuh untuk istirahat.
Anak-anak main bola jam 11 malam? Bisa aja. Tapi sementara anak-anak senang, orang dewasa harus pakai trik: tirai super tebal (blackout curtains) buat bikin kamar gelap gulita, dan disiplin diri yang tinggi untuk tidur tepat waktu. Kalau nggak, bisa-bisa begadang terus dan kelelahan berkepanjangan.
Namun, periode terang ini juga dimanfaatkan maksimal. Semua kegiatan penting seperti berburu dan memancing yang tertunda bisa dikebut 24 jam sehari. Ini adalah waktu untuk menyimpan cadangan energi dan makanan sebelum kegelapan kembali.
Baca Juga: Bertahun-tahun Tak Dapat Bantuan, Rutilahu Warga Nagrak Sukabumi Nyaris Roboh
Jadi, hidup di Utqiağvik itu seperti punya dua kehidupan ekstrem: satu di musim dingin ketika mereka menciptakan cahaya sendiri, dan satu lagi di musim panas ketika mereka harus menciptakan kegelapan sendiri. Dan melalui semuanya, yang paling berharga adalah cara mereka saling menjaga karena di ujung dunia, adaptasi terhebat adalah kesediaan manusia untuk bersandar pada manusia lainnya. Mereka membuktikan, tantangan alam yang paling ekstrem pun bisa diatasi jika kita melakukannya bersama.
Andai Kita Merasakan Hidup Orang Alaska di Utqiağvik
Bayangkan sejenak, kita yang terbiasa dengan iklim Indonesia, tiba-tiba harus menjalani kehidupan sehari-hari ala warga Utqiağvik. Rasanya pasti akan menjadi pengalaman yang sangat menguras energi sekaligus membuka mata. Sebagai manusia tropis, kejutan utamanya bukan hanya suhu dingin yang menusuk tulang, tetapi juga ritme alam yang benar-benar terbalik. Kita harus cepat belajar bagaimana mengatur pemanas, memilih pakaian super tebal, dan yang terpenting, bagaimana mengatur ulang jam biologis kita untuk beroperasi di dua mode ekstrem: mode gelap total dan mode terang total.
Andai kita berada di sana saat Malam Kutub periode 66 hari tanpa Matahari kita mungkin akan merasakan betapa cepatnya tubuh kita "menyerah" pada kegelapan. Kita akan cepat mengerti mengapa warga lokal sangat mengandalkan kotak terapi cahaya: itu bukan barang mewah, tapi alat bertahan hidup untuk mencegah kita terjerumus dalam kondisi lesu berkepanjangan karena kekurangan serotonin. Kita juga akan jadi sangat menghargai suplemen Vitamin D dan mungkin mulai menyukai ikan laut yang kaya nutrisi. Pengalaman ini akan memaksa kita, orang Indonesia yang terbiasa dengan kehangatan komunitas, untuk menggandakan interaksi sosial di dalam ruangan sebagai pertahanan utama melawan isolasi yang ditimbulkan oleh kegelapan yang tak berujung.
Sebaliknya, saat Matahari Tengah Malam (periode terang 24 jam) tiba, kita akan merasakan betapa sulitnya memaksa diri tidur ketika jam 10 malam pun langit masih terang benderang seperti pukul 2 siang. Andai kita mencoba hidup di sana, kita akan cepat menyadari bahwa tirai anti-tembus cahaya bukan lagi pilihan dekorasi, melainkan kebutuhan dasar untuk menjaga kewarasan ritme tidur.
Pengalaman ini mengajarkan kita betapa kuatnya pengaruh cahaya terhadap tubuh manusia, sesuatu yang jarang kita sadari di tengah stabilnya siklus 12 jam terang dan 12 jam gelap di khatulistiwa. Pada akhirnya, melalui pengalaman ini, kita akan menghargai betapa gigihnya orang Utqiağvik menciptakan keseimbangan antara cahaya buatan, disiplin diri yang ketat, dan dukungan komunitas.
(Berbagai sumber)



