Sejarah dan Kontroversi Penggunaan Gambut Sebagai Sumber Energi di Eropa Utara

Sukabumiupdate.com
Sabtu 13 Sep 2025, 18:22 WIB
Sejarah dan Kontroversi Penggunaan Gambut Sebagai Sumber Energi di Eropa Utara

Dalam 15th International Peat Congress di Kuching, Malaysia, terungkap bagaimana negara-negara seperti Finlandia, Irlandia, dan Jerman justru memelopori industrialisasi pengolahan gambut (Gambar:Youtube.com/Hamish Auskerry)

SUKABUMIUPDATE.com - Pernah tahukah Anda? Ternyata gambut (peat) telah digunakan sejak lama sebagai sumber energi di beberapa negara Eropa Utara, seperti Irlandia, Finlandia, dan negara-negara Baltik? Negara-negara ini, yang kaya akan cadangan gambut tetapi miskin sumber daya fosil, telah memanfaatkan gambut sebagai energi domestik untuk mengurangi ketergantungan impor.

Penggunaan gambut ini tidak hanya terkait dengan ketersediaan sumber daya, tetapi juga memiliki akar sejarah dan budaya yang kuat. Di Irlandia, misalnya, tradisi membakar "turf" (sebutan lokal untuk gambut) telah berlangsung selama berabad-abad sebagai cara untuk menghangatkan rumah.

Proses Pengolahan Gambut Menjadi Energi

Proses pengolahan gambut secara umum melibatkan tiga tahap utama:

  • Pengeringan: Lahan gambut dikeringkan dengan cara mengalirkan airnya.
  • Pemanenan: Gambut yang sudah kering dipanen, baik secara tradisional dengan memotongnya menjadi balok atau secara modern menggunakan mesin pengeruk besar.
  • Pemadatan: Gambut kemudian dipadatkan menjadi briket untuk perapian rumah tangga. Untuk pembangkit listrik, gambut sering digiling menjadi bubuk sebelum dibakar.

Baca Juga: Greenpeace Ingatkan Glasier di Cina Meleleh Semakin Cepat

Kontroversi dan Dampak Lingkungan

Meskipun gambut menjadi sumber energi lokal yang penting, penggunaannya kini sangat kontroversial karena dampak lingkungan yang masif:

  • Emisi Karbon Tinggi: Gambut adalah bahan bakar fosil "muda". Saat dibakar, ia melepaskan sejumlah besar karbon dioksida (CO2​) yang tersimpan selama ribuan tahun. Emisi CO2​ per unit energinya bahkan lebih tinggi daripada batubara.
  • Perusakan Ekosistem: Lahan gambut adalah ekosistem unik yang menyimpan dua kali lipat lebih banyak karbon daripada semua hutan di Bumi. Pengeringan dan pemanenannya menghancurkan habitat ini dan melepaskan karbon yang tersimpan, mempercepat perubahan iklim.
  • Pengaruh pada Kualitas Air: Proses pengeringan juga dapat mengganggu kualitas air dan ekosistem di sekitarnya.

Menyadari dampak ini, banyak negara Eropa secara bertahap mengurangi penggunaan gambut. Irlandia telah menutup pembangkit listrik berbahan bakar gambutnya dan berfokus pada restorasi lahan yang rusak, sementara Finlandia mulai mencampur gambut dengan biomassa lain untuk mengurangi emisi.

Paradoks Teknologi dan Standar Ganda

Di tengah kritik terhadap pengelolaan gambut di negara berkembang, negara-negara Eropa seperti Finlandia dan Irlandia justru telah memelopori pengembangan teknologi canggih untuk eksploitasi gambut skala besar. Mereka menggunakan teknologi mutakhir, mulai dari sistem drainase optik hingga pemanenan mekanis, untuk menghasilkan briket gambut industri.

Hal ini menciptakan paradoks kebijakan lingkungan di mana Uni Eropa membatasi impor produk dari lahan gambut, seperti minyak sawit dari Indonesia, sambil terus memanfaatkan gambut untuk energi dengan teknologi mereka sendiri. Menurut para ahli, ini menunjukkan adanya standar ganda dalam kebijakan pengelolaan lingkungan global.

"Ada standar ganda yang jelas terlihat. Eropa merasa legitim menggunakan gambut untuk energi dengan teknologi mereka, tapi membatasi negara lain memanfaatkan lahan gambut untuk produksi pangan," tegas Prof. Supiandi Sabiham, Guru Besar Ilmu Tanah IPB yang hadir dalam sebuah kongres di Malaysia seperti pernah diwartakan detik.com.

Data dari Global Peatlands Database mengungkapkan bahwa negara-negara Eropa telah merusak lebih dari 95% lahan gambut asli mereka. Jerman kehilangan 95% lahan gambut, Belanda 100%, dan Inggris 90%.

Baca Juga: Sukabumi Dorong Skema Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup

Pelajaran dan Masa Depan Pengelolaan Gambut

Pengalaman Eropa menunjukkan bahwa teknologi canggih dapat digunakan baik untuk eksploitasi maupun restorasi. Seiring dengan upaya mereka untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu, kini banyak negara Eropa beralih ke restorasi gambut.

Dialog global yang lebih adil sangat dibutuhkan, di mana negara-negara utara harus mengakui sejarah eksploitasi mereka dan bekerja sama dengan negara-negara selatan dengan berbagi teknologi dan pendanaan untuk pengelolaan gambut yang berkelanjutan. Indonesia, sebagai salah satu pemilik lahan gambut terbesar, dapat belajar dari kesalahan Eropa dan memanfaatkan gambut secara bijak tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan. Apakah Anda berpikir kolaborasi global ini dapat membantu mengatasi tantangan pengelolaan gambut yang kompleks?

(Dari berbagai sumber)

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini