Oleh : Farid Gaban, wartawan senior.
Tindakan para perusuh yang menjarah dan merusak fasilitas publik tidak bisa dibenarkan. Dan tidak layak dinormalisasi.
Tapi, bukankah penjarahan/perusakan fasilitas dan ruang publik berupa alam justru selama ini dinormalisasi pemerintah?
Bukan cuma dinormalisasi, penjarahan Bukit Tumpang Pitu (Banyuwangi) misalnya, direstui negara; diglorifikasi sebagai PSN (Proyek Strategis Nasional); dan dilindungi aparat bersenjata.
Dulu, Bukit Tumpang Pitu merupakan hutan lindung. Sesuai sebutannya, dia melindungi petani dan nelayan sekitar dari bencana alam seperti banjir dan kerusakan ekosistem laut di bawahnya.
Salah kondisi hutan Indoensia akibat deporestisasi | Foto : Istimewa
Bukit itu sekarang menyusut menuju hilang setelah dikeruk emasnya, menyisakan kerontang daratan dan laut yang berlumpur, membunuh ekosistem Teluk Pancer, mematikan penghidupan ribuan nelayan.
Baca Juga: Viral! Rumah Anggota DPR Ahmad Sahroni, Eko Patrio dan Uya Kuya Dijarah Massa
Hutan, sungai, dan teluk adalah fasilitas publik, yang menghidupi banyak orang, dan melindungi warga dari bencana.
Perusahaan yang mengeruk Tumpang Pitu, Merdeka Copper Gold, punya koneksi dengan lima menteri dalam Kabinet Jokowi dan Prabowo. Mantan Kepala BIN Hendropriyono pernah jadi komisaris di sini.
Rakyat yang menentang dan memperjuangkan kelestarian ruang hidupnya justru dipersekusi, ada yang dipenjara dengan tuduhan PKI.
Warga dipecah-belah dalam konflik horisontal berkepanjangan, merampok energi psikologis mereka berbulan-bulan, bahkan menahun.
Tumpang Pitu hanya satu contoh saja. Ada banyak yang seperti ini.
Lihat apa yang terjadi di Wawonii, Morowali, Sangihe, Halmahera, Raja Ampat, food estate Merauke, ekowisata Rempang, pagar laut Teluk Jakarta, Wadas.
Bukan cuma dinormalisasi, kerusakan fasilitas publik ini direstui negara dan dilindungi polisi/tentara bersenjata.*