Penulis: Hamidah, M.Pd
Visa Haji Furoda yang tak kunjung keluar seakan menjadi tamparan sunyi dari langit. Sebuah pesan tak bersuara, tapi tajam: tidak semua hal bisa dibeli, bahkan perjalanan menuju Baitullah sekalipun.
Mereka yang merasa bisa melenggang cepat ke Tanah Suci, dengan kekuatan harta dan koneksi, ternyata harus menyerah kalah oleh para calon haji reguler yang telah bertahun-tahun menunggu. Duduk sabar dalam antrean panjang, menyisihkan rezeki sedikit demi sedikit, sembari menjaga harapan agar kelak Allah memanggilnya sebagai tamu.
Bagi saya, haji furoda bukan hanya jalur alternatif, tapi simbol dari keangkuhan spiritual yang diam-diam tumbuh dalam diri sebagian manusia. Keinginan untuk mendahului, menyalip antrean panjang, dan merasa berhak lebih dulu—tanpa pernah bertanya: apakah aku memang layak diundang-Nya sekarang?
Padahal haji bukan perjalanan wisata. Ia bukan proyek status. Ia adalah panggilan, bukan semata kemampuan.
Baca Juga: Lagi, Jemaah Haji Asal Kabupaten Sukabumi Meninggal di Makkah
Dan hari ini, kita belajar:
Ada orang-orang yang mampu membayar, tapi tak jadi berangkat. Ada pula yang nyaris tak punya apa-apa, tapi tiba-tiba dipanggil dengan cara yang tak disangka.
Karena sesungguhnya, perjalanan ke rumah Allah bukan ditentukan oleh isi rekening, tapi oleh kelapangan hati, kerendahan diri, dan izin-Nya semata.
Mungkin inilah saatnya kita berhenti menyombongkan niat baik dengan cara yang salah. Mungkin ini peringatan: bahwa di hadapan Ka’bah, semua gelar dan gengsi akan luruh. Dan hanya yang ikhlas yang akan sampai.
Kita seringkali terlalu percaya diri dengan rencana manusia, lupa bahwa takdir Allah tak bisa dibeli. Kita sibuk menghitung biaya dan peluang, tapi lupa menghitung seberapa banyak dosa yang belum dimintakan ampun, seberapa sering kita lalai dalam ibadah, dan seberapa dalam kerinduan yang tulus itu benar-benar hadir dalam dada.
Berhaji bukan sekadar soal pergi, tapi soal kesiapan diri. Ia bukan tentang tiket dan paspor, tapi tentang hati yang bersih dan niat yang lurus. Jika Allah belum izinkan kita berangkat, jangan buru-buru menyalahkan sistem atau menyebut diri sebagai korban. Barangkali, kita memang sedang ditahan, agar kita lebih dulu membersihkan jiwa sebelum menginjakkan kaki di Tanah Suci.
Karena yang Maha Memanggil tahu, siapa yang benar-benar siap menjadi tamu-Nya.