Legislator Asal Sukabumi Kritik Tajam: Regulasi Tumpang Tindih Ancam Masa Depan Raja Ampat

Sukabumiupdate.com
Rabu 11 Jun 2025, 10:40 WIB
Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PKS drh Slamet di sela-sela Kunjungan Kerja Spesifik Komisi IV DPR RI ke pagar laut di perairan Tangerang, Banten, Rabu (22/1/2025). | Foto: dpr.go.id/Tiara/vel

Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PKS drh Slamet di sela-sela Kunjungan Kerja Spesifik Komisi IV DPR RI ke pagar laut di perairan Tangerang, Banten, Rabu (22/1/2025). | Foto: dpr.go.id/Tiara/vel

SUKABUMIUPDATE.com - Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PKS drh Slamet menyatakan keprihatinan yang mendalam atas masalah regulasi pertambangan yang terus melanggengkan eksploitasi sumber daya alam di Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Menurutnya, tumpang tindih peraturan pusat dan daerah tidak hanya melemahkan perlindungan hukum terhadap kawasan konservasi kelas dunia tersebut, namun juga menciptakan ruang kelabu yang membahayakan masa depan lingkungan dan masyarakat adat setempat.

“Raja Ampat telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati melalui Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2023. Ini adalah penegasan komitmen negara terhadap perlindungan ekosistem laut dan darat yang sangat vital. Tetapi di sisi lain, regulasi lokal masih membuka pintu bagi aktivitas tambang. Ini paradoks yang berbahaya,” tegas Slamet, dikutip dari keterangan partai pada 10 Juni 2025.

Legislator asal Sukabumi ini merujuk pada Perda RT/RW Kabupaten Raja Ampat yang sampai saat ini masih menetapkan beberapa pulau kecil seperti Gag dan Misool sebagai zona pertambangan. Hal tersebut bertentangan langsung dengan UU Nomor 27 Tahun 2007 jo. UU Nomor 1 Tahun 2014 yang melarang pertambangan mineral di pulau kecil. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 secara tegas memperkuat larangan itu.

Baca Juga: Cadangan Beras 4 Juta Ton, Legislator PKS drh Slamet Ingatkan Pentingnya Kedaulatan Pangan

Kemudian, menurut Slamet, keberadaan Pasal 83A UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan yang memuat klausul ‘grandfathering’, yang secara eksplisit mengizinkan izin-izin pertambangan lama tetap berlaku meski kawasan telah berubah status menjadi kawasan konservasi. “Klausul ini baik untuk kepastian investasi namun pada kasus Raja Ampat dapat menjadi tameng legal bagi kelangsungan izin pertambangan yang jelas-jelas bertentangan dengan semangat konservasi dan perlindungan keanekaragaman hayati,” jelasnya.

Ia mendesak pemerintah pusat untuk segera menyelaraskan seluruh kebijakan lintas sektor dan tingkat pemerintahan agar selaras dengan mandat perlindungan lingkungan.

“Perpres 81/2023 harus ditegakkan, bukan hanya menjadi dokumen seremonial. Perda yang bertentangan dengan UU dan Putusan MK harus dievaluasi bahkan direvisi atau dicabut. Dan seluruh izin pertambangan di pulau kecil wajib ditinjau ulang secara hukum,” tegas Slamet.

“Melindungi Raja Ampat adalah wujud nyata keberpihakan negara terhadap hukum, lingkungan, dan generasi masa depan. Jika regulasi terus bertentangan, maka yang hancur bukan hanya hutan dan laut, tapi kepercayaan publik terhadap negara hukum,” lanjut dia.

Berita Terkait
Berita Terkini