SUKABUMIUPDATE.com - Coba bayangkan ini! Ada satu wilayah di Indonesia yang menyimpan emas, tembaga, dan nikel melimpah ruah, seolah duduk di atas gunung harta karun. Tapi, ironisnya, wilayah itu justru dinobatkan sebagai yang paling miskin se-Indonesia! Ya, ini bukan cerita fiksi, tapi kenyataan pahit dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2025. Provinsi itu adalah Papua Pegunungan, dengan tingkat kemiskinan mencapai 30,03%. Itu artinya, hampir sepertiga penduduknya hidup susah. Ini adalah kontradiksi yang bikin geleng-geleng kepala!
Kehidupan miskin di pedalaman Papua seringkali terperangkap dalam lingkaran isolasi dan keterbatasan akses. Keluarga di kawasan Pegunungan Bintang atau Yalimo, misalnya, sangat bergantung pada pertanian subsisten menanam ubi jalar, keladi, dan sayuran untuk dimakan sendiri sebab minimnya infrastruktur jalan membuat mereka terputus dari pasar dan ekonomi uang formal. Ironisnya, meskipun wilayah mereka kaya mineral, masyarakat harus menghadapi biaya logistik yang sangat tinggi untuk kebutuhan dasar seperti garam, minyak goreng, atau obat-obatan, yang harus diterbangkan dengan biaya mencekik. Anak-anak kesulitan mendapatkan pendidikan yang layak karena guru enggan ditempatkan di daerah terpencil, dan penyakit endemik seperti malaria atau TBC sulit ditangani karena ketiadaan fasilitas kesehatan dan tenaga medis permanen, membuat harapan hidup relatif rendah.
Di tengah keterbatasan ini, disparitas kekayaan tampak mencolok. Masyarakat miskin menyaksikan secara langsung aktivitas perusahaan tambang besar yang mengeruk kekayaan dari perut bumi mereka, seringkali dengan helikopter yang lalu lalang di atas honai tradisional. Namun, kekayaan tersebut jarang berbalik menjadi kesejahteraan bagi mereka. Alih-alih mendapatkan lapangan kerja yang stabil atau pembangunan infrastruktur, mereka seringkali hanya mendapatkan dampak negatif berupa kerusakan lingkungan atau konflik sosial terkait sengketa lahan. Kesenjangan ini menciptakan rasa ketidakadilan yang mendalam, di mana mereka hidup di atas tumpukan emas namun tetap berjuang setiap hari hanya untuk mendapatkan kebutuhan pangan yang paling mendasar.
Baca Juga: Tak Ada Sukabumi, 57 Pemda Raih Apresiasi Kinerja 2025 dari Kemendagri
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2025 secara tegas menunjuk Papua Pegunungan sebagai provinsi termiskin di Indonesia, mencatatkan tingkat kemiskinan 30,03%. Angka yang mengejutkan ini berarti hampir sepertiga dari total penduduk di wilayah pemekaran baru tersebut hidup di bawah garis kemiskinan. Ironi ini menjadi sorotan tajam mengingat provinsi tersebut menyimpan kekayaan mineral tak ternilai, mulai dari emas skala besar di wilayah Pegunungan Bintang hingga potensi tembaga dan nikel.
Di luar Papua, provinsi-provinsi termiskin Indonesia (berdasarkan persentase BPS Maret 2025) didominasi oleh wilayah Timur lainnya, menyoroti tantangan pemerataan pembangunan di Kepulauan Nusantara. Nusa Tenggara Timur (NTT), yang berada di peringkat kelima dengan 19,02%, menghadapi kemiskinan struktural yang dipicu oleh kekeringan kronis dan ketergantungan pada pertanian tadah hujan. Sementara itu, Maluku (17,45%), Sulawesi Tenggara (15,78%), Gorontalo (14,92%), dan Bengkulu (13,45%) menunjukkan pola kemiskinan yang terkait dengan fenomena Kutukan Sumber Daya: meskipun memiliki potensi besar nikel, emas, atau batubara, manfaat ekonomi dari sektor ekstraktif seringkali gagal diterjemahkan menjadi kesejahteraan lokal akibat minimnya infrastruktur hilir dan ketidakmerataan distribusi pendapatan. Solusi di wilayah ini membutuhkan investasi pada sektor maritim, pariwisata, dan industrialisasi hilir yang inklusif.
Fenomena ini adalah contoh klasik dari Kutukan Sumber Daya Alam ("Resource Curse"). Melimpahnya kekayaan tambang, alih-alih menjadi katalis kesejahteraan, justru menciptakan disparitas tajam. Pendapatan masif dari sektor ekstraktif sering kali terpusat pada korporasi besar dan kas pemerintah pusat, sementara dampak positif di tingkat lokal amat minim. Kemiskinan struktural ini diperburuk oleh beberapa faktor kunci kurangnya infrastruktur yang memadai, tingginya eskalasi konflik sosial, masalah korupsi, serta ketidakmerataan distribusi kekayaan. Akibatnya, masyarakat setempat terpaksa bergantung pada pertanian subsisten dan menghadapi biaya hidup yang melambung tinggi karena keterbatasan akses.
Baca Juga: Perdana Menteri Anutin Charnvirakul Copot Kepala Distrik Hat Yai Akibat Tragedi Banjir Thailand
Kontras realitas kemiskinan di Papua Pegunungan, yang terperangkap dalam "Kutukan Sumber Daya" (kemiskinan struktural di tengah kekayaan mineral), menjadi semakin mencolok jika dibandingkan dengan kemiskinan yang dipicu oleh bencana ekologis dan kegagalan pengelolaan lingkungan di wilayah lain seperti Sumatera. Di Sumatera, khususnya di provinsi-provinsi kaya sumber daya seperti Riau dan Jambi, masyarakat menghadapi kemiskinan yang dipercepat oleh bencana kabut asap tahunan akibat pembakaran lahan masif untuk ekspansi sawit, serta dampak dari kerusakan ekosistem parah akibat aktivitas tambang batubara ilegal dan legal. Jika Papua menderita karena ironi kekayaan mineral yang tidak dinikmati, Sumatera menghadapi pukulan ganda: kekayaan sumber daya (sawit, batubara) yang dieksploitasi hingga menimbulkan bencana yang merusak mata pencaharian rakyat (gagal panen, ISPA). Ini menunjukkan bahwa di Indonesia, baik kekayaan tambang maupun kekayaan perkebunan sama-sama rentan menciptakan ketimpangan parah dan kemiskinan, hanya saja dengan mekanisme bencana yang berbeda.
Dominasi Wilayah Timur dalam Daftar Pahit
Secara nasional, tingkat kemiskinan Indonesia turun menjadi 8,47% pada Maret 2025 (dari 8,57% di September 2024), dengan jumlah penduduk miskin 23,85 juta jiwa. Namun, penurunan ini terhenti di wilayah Timur.
10 Provinsi Termiskin: Penuh Tambang & Emas Ini Justru Paling Miskin di RI
Beberapa pengamat dan pakar yang concern terhadap persoalan kontras ini, menyatakan pandangannya, bahwa penting bagi pemerintah untuk merumuskan solusi jangka panjang yang berfokus pada pemerataan kekayaan yang lebih baik, termasuk implementasi dana otonomi khusus yang transparan serta investasi besar-besaran pada infrastruktur dasar dan modal manusia, bukan hanya pada sektor ekstraktif.
Ini adalah kisah tragis tentang janji pembangunan yang hilang di tengah debu konsentrat mineral. Ketika helikopter perusahaan tambang terbang melintasi langit Papua Pegunungan, membawa pergi kekayaan yang diukur dalam tonase emas dan tembaga, yang tersisa di lembah-lembah sunyi hanyalah angka kemiskinan yang stagnan. Masyarakat adat, yang secara historis menjadi penjaga tanah itu, kini berdiri di persimpangan: menyaksikan sumber daya mereka dieksploitasi, namun tetap terikat pada belas kasihan alam dan pertanian subsisten yang rentan. Data BPS Maret 2025 ini bukan sekadar statistik; ini adalah dakwaan terhadap model pembangunan yang menempatkan keuntungan ekstraktif di atas martabat manusia. Sebuah ironi pahit di mana bumi yang subur oleh mineral, justru melahirkan kemiskinan yang mencekik.
Baca Juga: Bangkitkan Kopi Lokal, Distan Sukabumi Prioritaskan Tiga Sentra Pengembangan
Di tengah sorotan global terhadap transisi energi, nikel, tembaga, dan emas dari wilayah Timur Indonesia menjadi semakin krusial. Namun, kemajuan industri ini tidak boleh lagi dibayar dengan penderitaan masyarakat lokal. Mengakhiri Kutukan Sumber Daya membutuhkan lebih dari sekadar alokasi dana menuntut akuntabilitas absolut, investasi tulus pada pendidikan dan kesehatan, serta pengakuan utuh atas hak-hak masyarakat adat. Indonesia tidak bisa disebut makmur selama harta karunnya hanya memperkaya segelintir pihak, meninggalkan sepertiga rakyatnya di Pegunungan Bintang terperangkap dalam kemiskinan. Inilah panggilan terakhir bagi negara untuk menambang bukan hanya mineral, tetapi juga keadilan sosial.
Ini adalah tamparan keras bagi kita semua. Bayangkan, jutaan ton emas ditambang dari perut bumi, namun anak-anak di sana masih sulit mendapatkan gizi dan pendidikan layak. Kita bicara tentang provinsi yang menyumbang devisa besar, tapi warganya malah terjebak kemiskinan ekstrem. Logika di mana letak keadilannya? Data BPS ini harusnya membuat kita teriak cukup sudah kutukan sumber daya ini!
Cara berpikir manusia melihat ketimpangan ekonomi dan sosial, seperti yang terjadi antara kekayaan sumber daya Papua dan kemiskinan penduduknya, pada dasarnya adalah tidak linear dan sangat kompleks. Manusia cenderung menggunakan dua sistem utama: Sistem 1 (cepat, emosional, dan intuitif), yang bereaksi dengan kaget, marah, atau simpati ("Kok bisa-bisanya mereka miskin padahal tanahnya kaya?"), dan Sistem 2 (lambat, logis, dan analitis), yang mencoba memahami ketimpangan melalui konsep-konsep non-linear seperti "Kutukan Sumber Daya (Resource Curse)", kegagalan tata kelola, dan pengaruh konflik historis. Kita tidak hanya melihat selisih angka kemiskinan (linear), tetapi mencari penyebab struktural dan hubungan kausal yang melingkar di mana kemiskinan menyebabkan konflik, dan konflik memperburuk kegagalan infrastruktur, yang pada gilirannya melanggengkan kemiskinan. Oleh karena itu, persepsi kita terhadap ketimpangan selalu melibatkan perpaduan antara reaksi moral-emosional (tidak linear) dan upaya pemahaman sistemik-analitis (non-linear).
(Dari berbagai sumber)

