SUKABUMIUPDATE.com - Kota metropolitan Hat Yai, Provinsi Songkhla, yang biasanya semarak dengan denyut perdagangan, mendadak tenggelam dalam keheningan yang mematikan pada akhir November 2025. Hanya suara air deras yang menderu dan teriakan putus asa yang memecah kesunyian malam.
Dalam kurun waktu 24 jam yang mencekam, wilayah selatan Thailand diguyur curah hujan ekstrem 335 mm sebuah rekor meteorologis yang disebut tertinggi dalam tiga abad mengubah jalanan menjadi sungai berlumpur yang ganas. Gelombang air kotor itu menelan rumah, kendaraan, dan menghanyutkan harapan. Ketika air surut, yang tersisa adalah kehancuran masif dan statistik korban jiwa yang menyakitkan: sedikitnya 170 orang tewas, menjadikannya salah satu tragedi kemanusiaan terburuk yang melanda Thailand dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, krisis ini bukan hanya tentang kekuatan alam yang tak terhindarkan. Di balik lumpur dan puing-puing, sorotan tajam beralih ke kegagalan manajemen krisis dan akuntabilitas pejabat publik. Saat nyawa warga terancam, dugaan kelalaian dan ketidakberadaan pejabat di lapangan telah memicu kemarahan publik.
Baca Juga: PLN UID Jabar Kirim Relawan dan Bantuan Percepatan Pemulihan Pascabencana di Sumatera
Respons cepat Perdana Menteri Anutin Charnvirakul yang mencopot Kepala Distrik Hat Yai dan permintaan maaf terbuka, meski diapresiasi, menjadi pengakuan tersirat atas adanya cacat serius dalam sistem respons bencana. Bencana ini kini menjadi momentum krusial, membuka diskusi mendalam tentang seberapa siap dan seberapa bertanggung jawab pemimpin di Asia Tenggara dalam menghadapi ancaman gabungan antara anomali iklim dan degradasi lingkungan yang terus mengintai.
Banjir bandang yang melanda Thailand Selatan pada akhir November 2025 telah menorehkan luka kemanusiaan yang mendalam. Dengan sedikitnya 170 korban jiwa, tragedi ini terutama yang menghantam Provinsi Songkhla dan ibu kotanya, Hat Yai bukan hanya sekadar catatan meteorologis, melainkan sebuah ujian keras terhadap akuntabilitas dan kesiapsiagaan pemerintah di Asia Tenggara.
Tragedi Thailand ini menjadi cermin bagi negara tetangga, terutama Indonesia, yang juga akrab dengan bencana hidrometeorologi. Secara alamiah, kedua negara berhadapan dengan anomali iklim seperti La Niña yang meningkatkan intensitas hujan.
Krisis ini mencapai puncaknya pada Jumat, 28 November 2025, ketika Kota Hat Yai mencatat curah hujan ekstrem 335 mm dalam satu hari, sebuah rekor yang disebut-sebut sebagai yang tertinggi dalam 300 tahun terakhir. Intensitas hujan yang luar biasa ini, yang dipicu oleh anomali iklim di Selat Malaka, melumpuhkan infrastruktur kota dan sistem drainase. Bencana ini menunjukkan kerentanan Thailand terhadap fenomena cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi, di tengah latar geografis Songkhla sebagai daerah cekungan yang rawan genangan.
Berbeda dengan penanganan bencana di banyak negara yang sering kali lambat, respons pemerintah Thailand menunjukkan ketegasan yang patut dicatat. Perdana Menteri Anutin Charnvirakul menyampaikan permintaan maaf terbuka atas kekurangan penanganan bencana, diikuti dengan langkah politik yang keras: pencopotan segera Kepala Distrik Hat Yai.
Pejabat tersebut dicopot karena diduga tidak berada di lokasi dan sulit dihubungi selama masa kritis. Tindakan ini mengirimkan pesan kuat tentang kewajiban mutlak kepemimpinan di lapangan dan menjadi contoh penerapan akuntabilitas pejabat publik dalam situasi krisis. Pemerintah juga menyalurkan kompensasi finansial yang signifikan, mencapai 2 juta baht (sekitar Rp1 miliar) bagi keluarga setiap korban meninggal.
Baca Juga: Banyak Akses Terputus, Kondisi Terkini 8 Warga Sukabumi Terjebak Bencana Sumatera
Tragedi Thailand ini menjadi cermin bagi negara tetangga, terutama Indonesia, yang juga akrab dengan bencana hidrometeorologi. Secara alamiah, kedua negara berhadapan dengan anomali iklim seperti La Niña yang meningkatkan intensitas hujan. Namun, ketika Thailand berjuang melawan banjir kota akibat curah hujan ekstrem, Indonesia seringkali berhadapan dengan banjir bandang dan tanah longsor yang dipicu oleh topografi berbukit dan degradasi ekologi yang parah.
Kesamaan yang mengkhawatirkan terletak pada akar masalah ekologis: degradasi lingkungan. Meskipun curah hujan yang ekstrem adalah pemicu, pembangunan yang tidak berkelanjutan, seperti deforestasi masif dan perubahan tata guna lahan di kawasan hulu, telah mengurangi kemampuan alami ekosistem hutan untuk menyerap air. Namun, karakteristik material banjir di Indonesia seringkali membawa kayu gelondongan, mengindikasikan tingkat perusakan hutan primer yang lebih kritis dan mendesak masalah penegakan hukum lingkungan.
Baik Thailand maupun Indonesia dihadapkan pada tantangan ganda, yakni adaptasi terhadap perubahan iklim dan penegakan akuntabilitas di pemerintahan. Bencana Hat Yai tahun 2025 menjadi pengingat pahit bahwa kepemimpinan etis dan perbaikan struktural dalam manajemen bencana harus menjadi prioritas utama demi melindungi nyawa warga di tengah ancaman alam yang semakin brutal.
(Dari berbagai sumber)

