SUKABUMIUPDATE.com – Siang itu, langit di atas Kasepuhan Ciptamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, tampak mendung tebal menggantung rendah, membawa hawa lembap pertanda hujan sebentar lagi turun di lereng Gunung Halimun. Di tengah udara gerah yang menekan, seorang pria lanjut usia berjalan perlahan di petakan sawah berlumpur yang masih tergenang air.
Dia adalah Ki Udar (60 tahun). Dengan rokok kretek terselip di bibir dan iket kepala tradisional khas Sunda yang melingkar di kepalanya, ia bekerja tanpa tergesa, seolah tengah berdialog dengan tanah yang telah digarapnya selama puluhan tahun.
Air setinggi mata kaki beriak kecil setiap kali langkahnya menapak. Dengan tangan kosong, ia mencabut rumput liar di sela genangan, lalu sesekali mengayunkan celurit kecil untuk membersihkan tepian pematang. Kadang jongkok, kadang berdiri, lalu menyeka peluh di wajahnya dengan punggung tangan. Lumpur yang melekat di ujung celananya dibiarkan saja, menjadi bagian dari kesehariannya di sawah.
Baca Juga: Harga Daging Ayam Mahal, Pedagang Pasar di Sukabumi Sebut Banyak Terserap Dapur MBG
Sawah milik Ki Udar belum ditanami padi karena masih dalam tahap pembersihan dan penyemaian. Untuk sementara, lahan itu ia manfaatkan memelihara ikan agar tetap produktif. Sesekali ia menatap ke arah aliran air yang mengalir dari hulu, memastikan debitnya tetap lancar sebelum akhirnya beristirahat di gubuk berukuran 2x4 meter di tepi sawah, tempatnya melepas lelah.
Sambil melahap sepotong boled atau ubi jalar rebus buatan istrinya, Ki Udar mulai bercerita tentang harapannya agar tradisi bertani tetap hidup, tidak berhenti di generasinya. Ia memiliki tiga anak; dua perempuan telah berkeluarga, dan satu laki-laki, Tatan (23 tahun) yang kini menjadi satu-satunya harapan untuk meneruskan jejaknya.
“Saya sudah tua, tapi masih semangat ngajarin. Dari mencangkul, tandur, sampai ngarit, semua saya ajarin sejak kecil,” ujarnya kepada sukabumiupdate.com, Selasa (30/9/2025).
Ki Udar tahu betul, menjadi petani bukan jalan yang mudah. Tapi baginya, menjaga sawah warisan leluhur adalah bentuk menjaga jati diri.
Dari pengalamannya, ia belajar pentingnya menanamkan kemandirian sejak dini. Ki Udar melihat sendiri, banyak warga yang dulunya hidup berkecukupan dari hasil tani, kini tak lagi memiliki lahan karena sawah dan ladangnya habis dijual.
“Yang dulunya kaya, lahannya di sana-sini, sawah dan ladangnya, sekarang sudah tidak ada. Karena waktu mudanya terlalu mengandalkan orang tua. Setiap butuh apa-apa selalu minta ke orang tua. Akhirnya setelah orang tua meninggal, sawahnya dijual,” katanya.
Momen anak-anak dan pemuda di Kasepuhan Ciptamulya bermain voli di lapang dekat imah gede.
Saat itu, Tatan tengah membantu ekonomi keluarga dengan bekerja di tempat pengolahan lumpur tambang emas di Cibareno, Banten, sehingga tak bisa menemani ayahnya ke sawah.
Keesokan harinya, Tatan berbagi pandangan yang sama dengan ayahnya. Ia mengakui bahwa hidup sebagai petani masih menjanjikan—bukan dari sisi uang, melainkan dari rasa cukup, kedekatan dengan keluarga, dan warisan nilai yang tak ternilai.
Ia pernah merantau ke Depok untuk bekerja sebagai satpam perumahan, tapi hanya bertahan seminggu. Rasa rindu terhadap orang tua dan suasana kampung membuatnya memutuskan pulang, kembali ke sawah, dan membantu ayahnya.
“Bapak sudah tua, jadi tetap saya bantu. Menurut saya jadi petani masih menjanjikan. Selain karena sudah keturunan, prinsip saya, kalau bukan kami yang muda sebagai generasi penerus, siapa lagi,” ujar Tatan, yang masih tinggal satu rumah dengan orang tuanya di Kampung Ciptamulya.
Baca Juga: Leuit, Tabungan Kehidupan dan Penjaga Ketahanan Pangan Kasepuhan Ciptamulya
Kisah lain datang dari Ilus (40 tahun), tetangga Sudarta. Ia juga seorang petani, namun punya cara berbeda untuk bertahan di era digital. Setelah bertani di pagi hari, Ilus kerap melakukan siaran langsung di TikTok untuk menyapa para pengikutnya. Kadang ia melakukannya dari rumahnya sendiri, kadang dari imah gede, dengan bermodalkan Wifi dari Kasepuhan Gelaralam.
“Kalau siang habis dari sawah, saya live. Kadang malam juga, ngobrol soal kegiatan di kampung, suasana sawah, atau jualan gelang simpay yang terbuat dari rotan,” ujar Ilus yang juga saudara ipar dari Abah Hendrik, Ketua Adat Kasepuhan Ciptamulya.
Sejak membuka akun TikTok-nya pada masa Covid-19 atau 2020 lalu, kini Ilus telah memiliki lebih dari 16 ribu pengikut. Dalam setiap video, Ilus sering menampilkan pemandangan sawah berkabut, dapur imah gede dengan tungku yang masih berasap, hingga ritual adat yang dijalankan masyarakat Kasepuhan Ciptamulya.
Lewat layar ponsel, ia mengenalkan kehidupan kampung adat ke dunia luar—sekaligus menambah penghasilan keluarga kecilnya dari penjualan kerajinan tangan maupun gift dari para penontonnya.
“Lumayan buat nambah jajan anak,” katanya sambil tersenyum.
Ilus saat melakukan siaran langsung di TikTok dari rumahnya.
Ilus mengakui, banyak pemuda di kampung adat memilih merantau karena alasan ekonomi. Ia pun pernah merasakan hal yang sama di masa mudanya, namun akhirnya memutuskan pulang setelah menikah di usia 25 tahun untuk melanjutkan warisan leluhur sebagai petani.
“Regenerasi itu penting. Jadi tugas kami ngajarin anak supaya mau nerusin. Soalnya kalau bukan kita, siapa lagi?” ujarnya mantap.
Kepala Desa Sirnaresmi, Jaro Iwan Suwandri, memastikan regenerasi petani di wilayah adat masih berjalan dengan baik. Anak-anak tumbuh dengan pesan dari orang tua bahwa sawah adalah pusaka yang tak boleh ditinggalkan.
Menurutnya, meski sebagian pemuda merantau, mayoritas tetap kembali ke kampung. Mereka boleh menempuh pendidikan tinggi atau mencoba peruntungan di luar, tapi sawah dan huma tetap menjadi bagian hidup yang melekat.
“Setiap ada acara keagamaan seperti Maulid Nabi, Rajaban, atau kegiatan warga seperti musrenbang, saya selalu sampaikan ke generasi muda: Urang kudu bisa ngigelan jaman, ulah kabawa ku jaman. Artinya, kita harus bisa mengikuti zaman tanpa meninggalkan tradisi warisan para leluhur,” pungkasnya.