Dari Dukun Angka SDSB hingga Judi Online, Pelajaran Tak Pernah Usang Soal Candu & Kerugian yang Selalu Relevan

Sukabumiupdate.com
Sabtu 20 Sep 2025, 21:16 WIB
Dari Dukun Angka SDSB hingga Judi Online, Pelajaran Tak Pernah Usang Soal Candu & Kerugian yang Selalu Relevan

SDSB adalah "judol"-nya era analog: terorganisir, masif, dan melibatkan hampir semua kalangan. (Ilustrasi AI: ChatGPt)

SUKABUMIUPDATE.com - Jauh sebelum aplikasi judi bertebaran di gawai, Indonesia sudah punya presedennya sendiri: SDSB, Porkas, dan Cap Jie Kie. Mereka adalah bukti bahwa hasrat untuk bertaruh memang selalu ada dalam denyut nadi masyarakat, namun juga menjadi cermin bagaimana dampaknya selalu pahit dan berulang.

Bayangkan! Suatu malam di era 80-an. Seluruh anggota keluarga berkumpul di depan TVRI, satu-satunya stasiun televisi saat itu. Bukan untuk menonton sinetron atau berita, melainkan menyaksikan siaran langsung undian Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB), sebuah fenomena SDSB yang nyaris tak terbantahkan. SDSB adalah lotere resmi yang digagas untuk menggalang dana sosial, terutama untuk penanggulangan kusta dan pembangunan olahraga. Cara mainnya sederhana: beli kupon, tebak angka, dan tunggu undian.

Yang membuatnya legendaris adalah bagaimana ia menjadi budaya pop. Iklannya ada di mana-mana, obrolan tentang angka jitu mewarnai percakapan di warung kopi, dan momen undiannya adalah acara prime time yang dinantikan. SDSB adalah "judol"-nya era analog terorganisir, masif, dan melibatkan hampir semua kalangan. Namun, nasibnya berakhir tragis. Tekanan keras dari berbagai pihak, terutama kelompok agama yang menganggapnya sebagai kemaksiatan, memaksa pemerintah menutup SDSB pada 1993. SDSB tumbang oleh kekuatan kolektif masyarakat yang sadar akan dampak buruk perjudian.

Baca Juga: Ungkap Pelaku Pungli Tenaga Kerja, PT GSI Cikembar Sukabumi: Hukum Harus Berjalan

Porkas & Cap Jie Kie: Pelengkap Ekosistem “Taruhan” Zaman Old

Sebelum SDSB, ada Porkas (Poro Kas) yang fokus pada penggalangan dana untuk sepak bola Indonesia. Dan di jalur yang lebih gelap, hidup Cap Jie Kie judi ilegal berbasis shio yang dioperasikan dari gerai-gerai kecil di sudut kota.

Mereka melengkapi ekosistemnya: Porkas untuk yang “semi-resmi”, SDSB untuk yang “nasional”, dan Cap Jie Kie untuk yang “bawah tanah”. Ketiganya mewakili sebuah era di mana bertaruh masih bersifat fisik, komunal, dan meski berbahaya masih punya batas-batas yang jelas.

Ekosistem Mistis di Balik Demam SDSB

Tak hanya tentang angka dan uang, demam SDSB, Porkas, dan Cap Jie Kie melahirkan sebuah “ekosistem mistis” yang unik. Jika jalan-jalan ke trotoar ibu kota atau pusat keramaian seperti Pasar Baru pada era 80-an hingga 90-an, pemandangan ini biasa ditemui:

  • Tukang Tafsir Mimpi: Pedagang dadakan yang menjual buku tafsir mimpi. Mimpi melihat ular? Itu angka 07. Mimpi naik gunung? Mungkin 21. Buku-buku lusuh ini laris manis diburu orang yang percaya bahwa mimpi adalah firasat angka jitu.
  • “Dukun SDSB”: Orang-orang yang mengklaim punya kemampuan spiritual untuk meramal angka. Ritualnya beragam, mulai dari semedi, melihat media air atau cermin, hingga menggunakan benda-benda pusaka.
  • Penjual Primbon & Shio: Lapak-lapak yang menjual ramalan berdasarkan perhitungan hari pasaran Jawa, shio, atau huruf awal nama. Setiap shio dihubungkan dengan angka tertentu, dan perhitungannya bisa sangat rumit.

Baca Juga: Wabup Sukabumi Minta Pengawasan Dapur MBG Diperketat karena Marak Kasus Keracunan

Aktivitas ini bukanlah pelengkap biasa; ia adalah bagian dari psikologi massa yang berusaha mengatasi ketidakpastian. Karena hasil undian adalah sesuatu yang acak dan di luar kendali, masyarakat mencari “kepastian” melalui jalur-jalur mistis. Ini menunjukkan bahwa fenomena judi saat itu telah merasuk begitu dalam, tidak hanya pada pola konsumsi tetapi juga pada kepercayaan dan budaya.

Judol! Monster Digital yang Jauh Lebih Liar

Lalu, bandingkan dengan judi online (judol) hari ini.

  • Dulu: Beli kupon harus ke loket, ada usaha fisik.
  • Sekarang: Akses 24/7 dari gawai, hanya sejauh sentuhan jari.
  • Dulu: Batasan geografis dan waktu.
  • Sekarang: Tanpa batas, bisa dilakukan di mana saja secara diam-diam.
  • Dulu: SDSB akhirnya tumbang oleh tekanan sosial.
  • Sekarang: Judol punya ribuan situs mirror, server luar negeri, dan diperjuangkan oleh bandar-bandar yang punya sumber daya teknologi canggih.
  • Dulu: Targetnya kebanyakan orang dewasa.
  • Sekarang: Remaja dan anak-anak muda adalah sasaran empuk iklan-iklan judol yang berseliweran di media sosial dan aplikasi percakapan.

Judol adalah evolusi dari SDSB dan kawan-kawannya, tetapi dalam level bahaya yang berlipat ganda. Ia lebih adiktif, lebih merusak, dan lebih sulit dikontrol.

Pelajaran yang Tidak Berubah Dampaknya Selalu Pahit

Yang tidak berubah dari dulu hingga sekarang adalah dampak buruknya yang selalu pahit: kerugian finansial yang menghancurkan, kecanduan, stres, keretakan rumah tangga, hingga tindak kriminalitas.

Jika dulu masyarakat kolektif menolak SDSB, maka sekarang kita butuh kekuatan kolektif yang lebih besar dan lebih cerdas untuk melawan judol.

Baca Juga: Dunia di Ujung Jari, AI Mengubah Lukisan, Operasi Jantung dan Segalanya di Antara!

Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

  1. Edukasi Keluarga: Jadikan bahaya judol sebagai topik pembicaraan di rumah. Awasi aktivitas online anak-anak.
  2. Lapor dan Blokir: Manfaatkan kanal aduan seperti Kominfo (aplikasi Trust Positif) untuk melaporkan situs judol.
  3. Tidak Menyebarkan Link: Jangan sebarkan link atau promo judol, bahkan sekadar untuk candaan.
  4. Cari Bantuan: Jika ada keluarga yang kecanduan, segera cari bantuan lewat konseling.

SDSB, Porkas, dan Cap Jie Kie adalah fosil sejarah yang berharga. Mereka mengingatkan kita bahwa Indonesia pernah punya mekanisme pertahanan sosial yang kuat untuk melawan hal-hal yang dianggap merusak. Pada akhirnya, tumbangnya SDSB pada 1993 adalah bukti bahwa kesadaran kolektif bisa mengalahkan godaan yang masif.

Kini, di era digital, pertahanan itu harus ditegakkan kembali dengan cara yang baru. Jika dulu kerugian materi akibat judi lebih kasat mata—rumah tergadai, motor dijual—sekarang dampaknya jauh lebih senyap, tetapi merusak hingga ke akar-akarnya. Data Kominfo mencatat, jutaan orang, termasuk ibu rumah tangga dan anak-anak, telah terjerat judol dengan kerugian finansial yang mencapai triliunan rupiah setiap tahun.

Baca Juga: Konser Masih Tahun Depan, Berikut Harga Tiket aespa SYNK : aeXIS LINE di Jakarta

Lebih dari sekadar kerugian uang, kita bicara tentang kehancuran mental dan sosial. Kita membaca berita tentang orang tua yang bunuh diri karena terlilit utang judi, suami yang tega menjual istrinya, atau anak yang mencuri uang orang tuanya demi membeli chip gim. Ini bukan lagi sekadar berita, tapi cerminan dari tragedi kemanusiaan yang sedang terjadi di depan mata kita.

Oleh karena itu, perjuangan melawan judol bukanlah hanya tugas pemerintah atau lembaga, melainkan tanggung jawab kita bersama. Ini adalah tentang mengembalikan martabat manusia dari belenggu kecanduan. Ini adalah tentang melindungi keluarga dan masa depan anak-anak kita. Bernostalgia saja tidak cukup, kita harus belajar dari masa lalu untuk mengamankan masa depan.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini