SUKABUMIUPDATE.com - Setelah kepemimpinan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil berakhir, Masjid Raya Al-Jabbar terus mendapat sorotan. Di balik kemegahannya, tempat ibadah yang mulai dibangun pada tahun 2017 ini diketahui meninggalkan utang ratusan miliar. Kini, muncul dugaan mafia dalam pengadaan tanah pada 2016.
Hal itu diungkapkan Deden Achadiyat, warga Sukabumi yang mengaku memiliki tanah seluas kurang lebih 3 hektare di lokasi pembangunan Masjid Raya Al-Jabbar.
Deden menyebut tanah itu terbagi menjadi dua bagian, satu bidang yang sudah bersertifikat atas nama Deden Achadiyat seluas 19.670 meter persegi dan satu bidang masih berstatus tanah adat seluas 8.893 meter persegi . Kedua bidang tanah tersebut merupakan warisan dari orang tuanya yang belum sempat dibagikan untuk delapan ahli waris.
Pada tahap persiapan pengadaan tanah untuk pembangunan Masjid Raya Al-Jabbar yang berada di Kelurahan Cimincrang dan Kelurahan Cisaranteun, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, kata Deden, seluruhnya memiliki luas tanah hingga 21 hektare dengan menelan anggaran sebesar Rp 430 miliar yang dilaksanakan pada tahun 2016.
“Ternyata pada pelaksanaannya, baik tahap persiapan maupun tahap pelaksanaan pengadaan tanah, ditemukan indikasi dugaan konflik kepentingan panitia pengadaan tanah dan permainan calo/makelar/spekulan tanah sehingga pelaksanaan di lapangan menyimpang dari UU Nomor 2 Tahun 2012 dan aturan lainnya,” kata dia kepada sukabumiupdate.com, Sabtu (21/6/2025).
Baca Juga: Mahasiswa Petani Demo BPN Sukabumi: Desak Audit PTSL, Tindak Oknum Terlibat Mafia Tanah
Mantan Sekertaris Daerah (sekda) Kabupaten Sukabumi periode 2015-2020 ini mengungkapkan, dugaan praktik percaloan atau mafia terjadi ketika seseorang berinisial Hj M berniat membeli 3 hektare tanahnya seharga Rp 1,5 juta per meter persegi. Ini terjadi sebelum adanya informasi pembangunan Masjid Raya Al-Jabbar. Transaksi pun disepakati dengan cara pembayaran berangsur atau tiga kali bayar dengan total Rp 42 miliar.
Proses transaksi dengan Hj M dilakukan adik Deden yang disebut meminjam semua berkas tanah kepada Deden dengan niat akan menjual sebagian tanah waris miliknya. “Proses transaksi itu dibayar bertahap sebanyak tiga kali, terakhir 29 Juli 2016, dan ternyata tidak dibayar lunas kewajibannya oleh Hj M. Dia baru membayar uang muka Rp 2 miliar serta angsuran pertama Rp 8 miliar. Jadi saat itu baru dibayar Rp 10 miliar dari total Rp 42 miliar,” kata dia.
Seiring berjalannya waktu, pengadaan tanah untuk Masjid Raya Al-Jabbar terus berjalan hingga ketua pelaksana pengadaan tanah yakni Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jawa Barat memanggil sekurangnya 35 orang pemilik tanah di area tersebut untuk bertransaksi pada 28 November 2016.
“Namun di situ saya sebagai pemilik tanah tidak dipanggil, yang dipanggil malah Hj M yang diketahui memang ada transaksi pembelian atas tanah saya, namun dibayar dengan cara dicicil tiga tahap dan saat itu belum lunas, otomatis tanah juga masih atas nama saya, bukan Hj M. Tapi BPN dalam hal ini mengundang Hj M untuk proses transaksi pembelian atau pembebasan tanah untuk pembangunan Masjid Raya Al-Jabbar itu,” ujarnya.
Deden menganggap dalam pengadaan tanah untuk Masjid Raya Al-Jabbar dipenuhi praktik percaloan. Hal tersebut terbukti dengan cara Hj M melunasi sisa pembayaran tanahnya kepada keluarga Deden menggunakan uang keuntungan dari hasil penjualan tanah milik Deden kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat seharga Rp 77 miliar.
“Menurut saya, Hj M diduga berperan sebagai calo tanah, karena dia membeli sebidang tanah milik keluarga saya dengan nominal sekian dengan cara dicicil selama tiga kali yang dilunasi menggunakan uang dari hasil penjualan tanah tersebut seharga Rp 77 miliar,” ungkap dia.
“Jelas ini masuk dugaan manipulasi data, makanya saya langsung bersurat ke gubernur bahwa dalam hal ini gubernur salah bayar, karena Hj M tidak berhak, karena transaksi dengan saya belum selesai atau belum dilunasi. Dan di sisi lain, berdasarkan PPRI Nomor 71 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah, itu yang bisa mengalihkan hak atas tanah adalah akta jual beli dan dalam hal ini saya belum membuat akta jual beli,” jelas Deden.
Atas adanya dugaan praktik percaloan itu, Deden mengaku dalam waktu dekat akan melakukan gugatan kepada pengadilan dan melapor ke Polda Jawa Barat.
“Saya rencananya akan melaporkan yang bersangkutan kepada Polda Jabar karena saya juga sebelumnya pernah melaporkan ke Polrestabes Bandung tentang perubahan perjanjian jual beli di bawah tangan yang ditandatangani oleh kuasa Y dari saya kepada Hj M. Surat kuasa itu betul dari saya, namun bukan untuk mengubah akta notaris tahun 2016, tapi untuk mengurus warkan tanah adat itu,” katanya.
“Saya juga akan menggugatnya ke pengadilan dalam hal perdata atau perbuatan melanggar hukum, dan tergugatnya, salah satunya adalah gubernur karena yang dibayar oleh pemprov itu adalah perjanjian yang diubah di bawah tangan yang dilakukan atas kuasa yang diberikan bukan untuk menjual tanah itu, berarti kan ini ilegal atau cacat hukum,“ lanjut dia.