M. Faizi - Sang Kiai Nyentrik dan Sederhana yang Menulis Puisi di Jok Bus Tua

Sukabumiupdate.com
Selasa 11 Nov 2025, 20:02 WIB
M. Faizi - Sang Kiai Nyentrik dan Sederhana yang Menulis Puisi di Jok Bus Tua

Intelektual Pesantren: Menyatukan tradisi dan kritik sosial. Inspirasi dari Annuqoyah. (Sumber Facebook| Credit Foto: @Januar Herwanto)

SUKABUMIUPDATERCOM -  "Banyak orang mencari Tuhan di tempat yang sepi, di puncak gunung atau gua. Saya mencari Tuhan di tengah kebisingan mesin diesel, di sela-sela obrolan kondektur dan pedagang asongan." - M. Faizi

Lora M. Faizi (lahir 1975), yang akrab disapa Yai Faizi, adalah sosok langka yang menjadi jembatan vital dalam khazanah intelektual dan budaya Indonesia kontemporer. Berasal dari Pulau Garam Madura, beliau muncul bukan hanya sebagai Kiai pengasuh pondok pesantren, tetapi juga sebagai Penyair yang karya-karyanya memiliki daya dobrak dan diakui secara nasional hingga internasional. Urgensi kehadiran beliau terletak pada kemampuannya menyandingkan jubah spiritual dan tradisi salaf yang kokoh dengan pena sastra modern yang kritis, menciptakan sebuah dialektika yang kaya.

Di tengah arus globalisasi yang rentan mengikis identitas lokal dan spiritualitas, M. Faizi yang terkenal dengan sosok membumi ini menunjukkan bahwa akar tradisi justru dapat menjadi fondasi terkuat untuk menghasilkan karya-karya humanis yang relevan dengan zaman. Ia sering mengamati kehidupan sehari-hari masyarakat di tempat yang paling jujur dan egaliter di dalam bus umum.

Filosofi ini tertanam kuat dalam praktik Busmania beliau, di mana ia secara sengaja memilih bus ekonomi (bumel) sebagai "ruang kelas berjalan" dan tempat meditasi spiritual (suluk). Di dalam bus yang bising dan penuh sesak, Kiai Faizi menemukan miniatur masyarakat yang sesungguhnya.

Baca Juga: Hari Jomblo Sedunia Tidak Hanya bermigrasi ke luar Tiongkok, Tapi Bermigrasi dari Hati ke Dompet

Faizi x Kopi: Kopiana Silaturahmi dunia maya dan nyata. Filosofi kopi dan perjumpaan.Faizi x Kopi: Kopiana Silaturahmi dunia maya dan nyata. Filosofi kopi dan perjumpaan.(Sumber Facebook, Credit Foto: @Januar Herwanto)

Mengakar di Pesantren: Pewaris Tradisi dan Tuntutan Pembaruan

  1. Faizi merupakan pewaris ajaran dari keluarga besar ulama di Madura, menjadikannya pengasuh Pondok Pesantren Annuqoyah daerah Al-Furqaan Sabajarin, Guluk-Guluk, Sumenep. Dalam peran ini, beliau mengemban tanggung jawab mendesak untuk tidak hanya menjaga tradisi pendidikan agama (kitab kuning), tetapi juga menyiapkan ribuan santri agar mampu menghadapi tantangan peradaban modern tanpa kehilangan jati diri keislaman mereka. Oleh karena itu, beliau membawa semangat pembaruan dalam metodologi pesantren.

Humanisme Religius menjadi inti dari ajaran beliau, di mana beliau menekankan bahwa nilai-nilai agama harus selalu berorientasi pada kemaslahatan manusia, kedamaian, dan toleransi. Beliau menentang penafsiran agama yang sempit dan ekstrem, sebab menurutnya: "Jika agama membuatmu berjarak dengan kemanusiaan, maka ada yang salah dengan penafsiranmu terhadap agama."

Melalui integrasi seni dan pemikiran kritis, beliau memastikan bahwa pesantren berfungsi sebagai pusat peradaban yang mampu mencetak ulama sekaligus intelektual dan budayawan yang berwawasan luas.

Baca Juga: Kabupaten hanya 124 - Kota 28 Orang: Estimasi Kuota Haji Sukabumi Berkurang, Calon Haji Gelisah

Sastra sebagai Senjata Intelektual dan Kegelisahan Eksistensial

Di sisi lain jubahnya, M. Faizi adalah seorang penyair yang karyanya termuat dalam berbagai antologi dan media bergengsi. Urgensi sastra bagi beliau adalah menjadikannya alat kritik sosial dan ekspresi kegelisahan eksistensial di tengah krisis moral dan politik.

Gaya puisinya memiliki ciri khas yang kuat, lugas, jujur, dan sarat akan lokalitas Madura yang dipadukan dengan kontemplasi sufistik modern, terangkum dalam buku-buku seperti 18+, Sareyang, dan Rumah Bersama. Beliau memandang sastra sebagai ibadah yang lain, sebuah bentuk muhasabah (refleksi) yang otentik. "Puisi terbaik lahir dari kejujuran dan kegelisahan yang mendalam. Tugas penyair adalah mengoyak kepalsuan, bukan sekadar merangkai kata indah," tegas beliau.

Dengan pena, beliau mampu menyuarakan ketidakadilan dan menyampaikan pesan moral yang mungkin terasa kaku atau formal jika diucapkan dalam khotbah biasa, membuktikan bahwa seorang Kiai memiliki kewajiban moral untuk aktif dalam wacana publik melalui seni dan pemikiran.

Baca Juga: Langkah Inovatif NPU, Kampus Pertama di Jabar yang Punya Layanan Imigrasi Sendiri

Busmania, Suluk Jalanan, dan Kemanusiaan yang Mendesak

Aspek paling unik yang melengkapi sosok M. Faizi adalah kegemarannya yang mendalam terhadap bus, khususnya bus ekonomi atau bumel, yang ia seistilahkan Busmania. Kecintaan beliau ini bukan sekadar hobi, melainkan sebuah filosofi hidup dan metode suluk (perjalanan spiritual) untuk menjawab kebutuhan mendesak akan ilmu yang membumi.

Bus menjadi laboratorium sosial berjalan di mana beliau dapat mengamati tipe-tipe manusia, dari pedagang asongan hingga buruh, yang berjuang demi hidup. Filosofi Busmania ini adalah penegasan terhadap prinsip kesetaraan dan empati. "Bus adalah ruang kelas paling jujur. Di sini saya melihat manusia tanpa filter. Mereka berbagi udara, bau, dan takdir selama beberapa jam perjalanan," kata beliau, menggarisbawahi pentingnya empati berbasis realitas di tengah meningkatnya polarisasi sosial.

Perjalanan ini memungkinkan beliau menemukan spiritualitas di tengah kebisingan dunia, menjadikannya inspirasi utama dalam karya-karya jurnalistik jalanannya seperti Beauty and the Bus. K.H. M. Faizi, dengan demikian, adalah figur yang mengukir garis batas baru, menunjukkan bahwa seorang penjaga tradisi haruslah seorang pembaru, dan spiritualitas sejati haruslah ditemukan di tengah-tengah denyut nadi kehidupan, bahkan di jok bus tua yang penuh sesak.

Lora Faizi sering membagikan cerita yang sangat menarik di akun sosmednya M. Faizi. Kita kutip salah satunya yang sangat memperkuat gambaran tentang beliau sebagai sosok yang membumi, egaliter, dan sangat menjunjung tinggi silaturahmi, bahkan yang berawal dari dunia maya.

Tangkapan layar Tangkapan layar "JAMBI: Antara Facebook dan Kopi "

Berikut adalah analisis dan ulasan mengenai urgensi silaturahmi beliau, berdasarkan kutipan yang Anda berikan:

Silaturahmi M. Faizi Menipiskan Sekat antara Maya dan Nyata

Kisah perjalanan M. Faizi ke Jambi yang pernah ia bagikan, dengan judul "JAMBI: Antara Facebook dan Kopi,"  pada sebuah postingan di akun  facebook miliknya bukan hanya catatan perjalanan biasa, melainkan sebuah manifesto personal mengenai pentingnya silaturahmi dan menipiskan sekat-sekat kehidupan. Urgensi dari praktik silaturahmi beliau ini terletak pada upayanya untuk memanusiakan koneksi di era digital.

  1. Urgensi Menghadirkan Dunia Maya ke Dunia Nyata

Di era ketika pertemanan seringkali terhenti di layar gawai, M. Faizi secara aktif mencari peluang untuk mengubah pertemanan digital menjadi koneksi nyata.

"Tidak disangka, dari teman di dunia maya, akhirnya pertemanan berlanjut secara nyata."

  • Jembatan Digital-Spiritual: Bagi seorang Kiai, praktik ini menunjukkan bahwa media sosial seperti Facebook dapat menjadi perantara ukhuwah (persaudaraan), bukan alat narsistik. Beliau menunjukkan bahwa silaturahmi adalah perintah agama yang harus diupayakan, bahkan jika titik awalnya adalah radio streaming dan pesan Facebook.
  • Kepercayaan dan Keramahan: Keberanian beliau mendatangi stasiun radio Metro FM Jambi di malam hari, hanya berdasarkan pertemanan Facebook, mencerminkan kepercayaan mendasar beliau pada kebaikan manusia dan semangat keramahan Indonesia.

Baca Juga: Rereongan ASN Dinas PU Sukabumi Wujudkan Rumah Layak Huni untuk Warga Cikidang

  1. Filosofi Kebetulan yang Indah (Ah, indahnya kebetulan, seolah-olah kebetulan, begitu.)

Kutipan tersebut menunjukkan pandangan spiritual beliau tentang takdir dan perjumpaan.

  • Intervensi Ilahi: Pengalaman bertemu relawan yang tiba-tiba muncul dan bersedia mengantar ke Metro Jambi, saat beliau sedang kebingungan mencari angkutan, dilihatnya bukan sebagai kebetulan murni, melainkan seolah-olah sebuah intervensi yang diatur secara halus. Hal ini selaras dengan pandangan sufistik, di mana segala perjumpaan (termasuk kopi dan teman baru) adalah bagian dari rencana besar Tuhan.
  • Nilai Sebuah Perjumpaan: Perjumpaan nyata dengan Danang Hamid, yang digambarkan seperti "dua orang sahabat masa kecil yang terpisah puluhan tahun lalu", menunjukkan bahwa koneksi yang tulus (bukan sekadar formalitas) adalah harta yang tak ternilai harganya.
  1. Kopi, Sastra, dan Ruang Egaliter

Di akhir kisah, kopi menjadi simbol yang kuat.

  • Kopi sebagai Simbol Kehangatan: Kopi (dalam hal ini Kopi AAA Jambi) berfungsi sebagai pencair suasana dan simbol kehangatan silaturahmi. Di ruangan studio radio yang sepi itu, kopi menjadi saksi ngobrol santai dan wawancara live tentang sastra dan musik.
  • Menghilangkan Status: M. Faizi, seorang Kiai besar dari Madura, tidak ragu untuk diwawancarai oleh seorang penyiar radio lokal yang baru dikenalnya di Facebook. Ini menegaskan kembali sikap egaliter beliau, di mana gelar dan status sosial dikesampingkan demi berbagi pikiran (sastra) dan menjalin persahabatan sejati.

Dua diantara banyak karya M. FaiziBeauty and The Bis, Trakat Jalanan "Bahagia di Jalan raya" contoh buku karya sastra di antara banyak karya M. Faizi (Sumber: Istimewa)

Melalui kisah perjalanannya, M. Faizi mengajarkan bahwa silaturahmi yang otentik adalah jembatan yang paling efektif untuk melawan keterasingan di era modern. Ia membuktikan bahwa pertemanan yang dibangun di atas kesamaan minat (radio, musik, sastra) dapat bermuara pada koneksi spiritual dan humanis di dunia nyata.

Baca Juga: Dari Garasi ke Panggung Dunia! Film-Film Wajib Tonton buat Kamu Calon Anak Band Keren

Lora Faizi adalah figur langka yang menjabat sebagai Kiai pengasuh Pondok Pesantren Annuqoyah di Madura sekaligus seorang Penyair dan Intelektual publik. Urgensi kehadiran beliau terletak pada kemampuannya menyatukan dua dunia yang sering dianggap terpisah: tradisi spiritual pesantren dan ekspresi sastra modern yang kritis. Beliau menggunakan pena sebagai senjata intelektual, menghasilkan karya-karya yang jujur dan sarat nuansa sufistik namun tetap berakar kuat pada kearifan lokal Madura, menolak penafsiran agama yang kaku demi humanisme dan keterbukaan.

Beliau menunjukkan bahwa di tengah arus globalisasi, akar tradisi justru dapat menjadi fondasi terkuat untuk menghasilkan karya-karya humanis. Mengingat beliau adalah tokoh nasional yang aktif dalam acara-acara sastra, budaya, dan keagamaan di berbagai daerah, terutama dalam lingkup komunitas penulis, kampus, dan Nahdlatul Ulama (NU), sangat mungkin beliau pernah singgah atau diundang ke Sukabumi dalam konteks kegiatan tersebut, meskipun tidak terekam dalam sumber berita utama.

Filosofi hidup beliau diperkuat oleh praktik Busmania, sebuah metode suluk (perjalanan spiritual) yang dinamis dan membumi. Baginya, bus ekonomi adalah "ruang kelas paling jujur" dan laboratorium sosial berjalan, tempat beliau mengamati realitas sosial secara egaliter, mencari Tuhan, dan menemukan inspirasi di tengah kebisingan mesin diesel.

Lebih jauh lagi, M. Faizi sangat menjunjung tinggi silaturahmi, bahkan yang berawal dari dunia maya, seperti kisah perjumpaannya di Jambi, di mana ia secara aktif menipiskan sekat antara pertemanan digital dan koneksi nyata. Secara keseluruhan, M. Faizi merepresentasikan sosok Kiai pembaru yang spiritualitasnya tidak dicari di tempat sunyi, melainkan di tengah denyut nadi kehidupan, di jok bus tua, di meja kopi, dan di setiap perjumpaan manusia.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini