SUKABUMIUPDATE.com - Banjir yang melanda kawasan Salabintana, Kecamatan/Kabupaten Sukabumi, pada Jumat (5/12/2025), disinyalir bukan lagi sekadar luapan air musiman, melainkan indikasi serius adanya kerusakan ekologis masif di wilayah hulu kaki Gunung Gede Pangrango.
Luapan air yang berarus deras seperti sungai pada saat itu bahkan menghantam gerobak pedagang dan menyeret sejumlah kendaraan roda dua.
Ratono (58 tahun), warga Kampung Cisarua Girang, Desa Warnasari, menjadi saksi langsung dahsyatnya banjir limpasan tersebut. Menurutnya, debit air kali ini jauh lebih besar dari kejadian sebelumnya.
"Banjir kemarin itu, memang cukup besar dan dua kali lipat dari banjir biasanya," kata Ratono kepada sukabumiupdate.com, Senin (8/12/2025).
Ia menambahkan beberapa kios di kawasan itu ikut terendam, termasuk sebuah kios beras di depan tempatnya berdagang.
“Iya, itu kios beras yang ada di depan kios saya juga ikut terendam banjir juga sampai dalam kiosnya. Itu kemarin gorong-gorongnya baru selesai diperbaiki,” ucapnya.
“Kalau ke kios sembako saya, airnya tidak sampai, hanya saja untuk ketinggian air banjirnya hampir setengah meter. Namun, karena kondisi jalannya menurun, sehingga air cukup deras. Bahkan, ada sekitar 10 kendaraan sepeda motor ikut terbawa banjir," tambahnya.
Baca Juga: Ngerinya Banjir Limpasan di Sukabumi: Jalan Salabintana Cimanggah Hingga Siliwangi Jadi Sungai
Menurutnya, banjir kali ini diperparah oleh drainase yang kecil serta maraknya alih fungsi lahan di kawasan kaki Gunung Gede. Ia mencontohkan, lahan perkebunan kini banyak yang berubah menjadi bangunan, termasuk kafe-kafe di sekitar Pondok Halimun (PH).
“Selain drainasenya kecil, juga banyak bangunan. Terlebih lagi, di kawasan kaki Gunung Gede atau di sekitaran Pondok Halimun banyak peralihan alih fungsi lahan, seperti lahan perkebunan berubah menjadi bangunan cafe-cafe,” pungkasnya..
Akar Masalah: Menyusutnya Hutan Lindung dan Eks HGU
Ketua DPC Serikat Petani Indonesia (SPI) Kabupaten Sukabumi, Rozak Daud, menegaskan bahwa penyebab utama bencana ini adalah menyusutnya kawasan hutan lindung. Ia menyebut luasan hutan lindung di Sukabumi kini hanya tersisa sekitar 12,72 persen, mayoritas dikelola oleh PTPN dan TNGGP (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango).
Menurut Rozak, fungsi ekologis sebagai penahan debit air kini hilang karena maraknya alih fungsi lahan menjadi agrowisata dan perkebunan non-kayu.
“Kawasan hutan lindung yang harusnya menjadi penahan debit air, kini tidak lagi mampu menjalankan peran ekologisnya. Maka tidak heran Salabintana yang berada di dataran tinggi pun bisa banjir, bagaimana Kota Sukabumi yang berada di bawahnya?” kata Rozak, Selasa (9/12/2025).
Baca Juga: Bos BP BUMN Ungkap Jalur KRL Akan Diperpanjang hingga Sukabumi dan Cikampek
SPI Desak Audit Lahan Eks HGU PTPN
Rozak menilai praktik alih fungsi lahan tidak sepenuhnya dapat dibebankan kepada petani. Ia menyebut ada dua kelompok yang mengolah lahan Eks HGU PTPN, yaitu petani kecil dengan lahan maksimal 5.000 meter persegi yang turun-temurun bertani dengan pola tanam tumpangsari, serta pengusaha tani atau petani musiman yang dalam lima tahun terakhir mengubah kebun teh menjadi perkebunan sayur atau destinasi wisata.
Menurut dia, perubahan besar pada lanskap ini tidak terjadi tiba-tiba, melainkan karena adanya izin penyewaan lahan oleh perusahaan negara.
“Bukan mereka yang memulai. Mereka berani membuka kebun teh dan menggantinya dengan tanaman lain karena ada izin sewa lahan dari PTPN. Jadi akar persoalan harus dilihat dari situ,” tegasnya.
SPI pun mendorong audit terhadap pengelolaan lahan eks HGU yang masa kontraknya sudah berakhir. Rozak menyebut ada indikasi pelanggaran dalam praktik penyewaan tersebut.
“HGU-nya sudah berakhir tetapi lahannya disewakan. Ini harus diaudit dan didalami. Aspek hukumnya seperti apa? Dan biaya sewa itu mengalir ke mana? Apakah masuk ke kas BUMN melalui Direksi PTPN atau hanya permainan administratur lapangan?” ujarnya mempertanyakan.
Ia bahkan menyinggung keberadaan belasan kafe dan destinasi wisata yang kini berdiri di atas lahan bekas perkebunan teh sebagai bukti adanya perubahan tata ruang yang masif.
Bagi Rozak, banjir Salabintana bukan kejadian tunggal, tetapi peringatan keras bagi pemerintah daerah agar segera menghentikan penyewaan lahan eks HGU, menata ulang fungsi hutan lindung, dan melindungi petani gurem.
“Jika kawasan hulu saja sudah tidak mampu menahan air, banjir dengan skala besar di Kota Sukabumi tinggal menunggu waktu,” tandasnya.





