Dari Atap Ijuk ke Proyek Modern yang Mangkrak, Sejarah Jembatan Pamuruyan Sukabumi

Sukabumiupdate.com
Selasa 02 Des 2025, 14:44 WIB
Dari Atap Ijuk ke Proyek Modern yang Mangkrak, Sejarah Jembatan Pamuruyan Sukabumi

Jembatan Pamuruyan (dahulu masih beratap ijuk), saksi perubahan dari jalur Batavia tempo dulu hingga proyek modern yang kini mangkrak. (Sumber : Irman Firmansyah).

SUKABUMIUPDATE.com - Dinamika Jembatan Pamuruyan hingga kini masih menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Pasalnya, selain proyek jembatan baru yang mangkrak, pelindung pilar utama Jembatan Lama Pamuruyan di Desa Pamuruyan, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, justru mengalami scouring atau gerusan air sungai.

Di tengah kondisi jembatan baru yang belum berfungsi dan belum jelas kapan akan kembali dikerjakan, kerusakan pada struktur jembatan lama menuntut adanya penanganan cepat. Apalagi, jembatan lama tersebut masih menjadi akses vital bagi kendaraan yang melintas di jalur nasional Sukabumi–Bogor setiap hari.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, proyek penggantian dan duplikasi Jembatan Pamuruyan yang berada di jalur utama Cibadak telah dimulai sejak 2022, namun hingga kini belum juga rampung.

Pembangunan infrastruktur strategis milik Kementerian PUPR tersebut justru memicu kemacetan panjang di jalur nasional Bogor–Sukabumi akibat terhentinya aktivitas konstruksi.

Berdasarkan informasi dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), proyek ini telah melalui proses tender sejak awal Maret 2022.

Total pagu anggaran tercatat sebesar Rp 24,76 miliar, dengan masa lelang berlangsung dari 1 Maret hingga 11 April 2022. Proyek yang dibiayai APBN 2022 itu dilaksanakan oleh Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah II Jawa Barat.

Baca Juga: Proyek Baru Mangkrak, Struktur Jembatan Lama Pamuruyan Sukabumi Terancam Rusak

Namun hingga akhir tahun 2025, belum ada tanda-tanda pengerjaan kembali. Pihak Kementerian PUPR pun belum memberikan penjelasan resmi terbaru mengenai kendala yang menyebabkan proyek ini mangkrak.

Sejarah Jembatan Pamuruyan

Jembatan Pamuruyan merupakan infrastruktur vital, bukan hanya pada masa kini, tetapi juga sejak era kolonial. Pada masa lampau, kawasan ini menjadi jalur lintasan kuda menuju Pakuan. Namun berdasarkan catatan perjalanan Scipio pada 1867 dan Van Riebeeck pada 1711, belum ditemukan informasi adanya jembatan di lokasi tersebut.

Pada masa VOC, sebagian besar jalur yang melintasi sungai besar memang masih mengandalkan perahu atau rakit sebagai penghubung. Belum diketahui secara pasti kapan jembatan sederhana pertama dibangun, tetapi pada sekitar tahun 1870 sudah terdapat jembatan kayu yang menghubungkannya.

Pengamat sejarah Sukabumi, Irman Firmansyah, mengatakan bahwa Jembatan Pamuruyan dahulunya memang telah lama menjadi jalur penting.

“Jembatan ini sangat vital karena seringkali digunakan oleh rombongan dari Batavia yang menuju Cianjur sebelum dibangun jalan Daendels. Saat itu puncak bukan pilihan untuk rombongan kereta karena kecuramannya dan jalan setapak yang masih belum baik,” ujar Irman kepada sukabumiupdate.com pada Selasa (2/12/2025).

Kondisi jembatan baru Pamuruyan yang mangkrak dan proses perawatan jembatan lama yang berada disampingnya..Kondisi jembatan baru Pamuruyan yang mangkrak dan proses perawatan jembatan lama yang berada disampingnya. | SU/Ibnu Sanubari.

Akan tetapi jembatan permanen baru dibangun pada tahun 1899 dan dikenal sebagai Jembatan Cicatih 2, penyebutan ini untuk membedakannya dari Jembatan Cicatih 1 yang berupa gorong-gorong (duiker) di kawasan Sundawenang.

Konstruksi Jembatan Pamuruyan pada masa itu menggunakan material kayu dan sebagian besi, dengan atap ijuk menyerupai jembatan di Sungai Citarum. Jembatan tersebut bahkan ditengarai sempat menerapkan tarif layaknya tol guna kebutuhan pemeliharaan.

Adapun jalur yang melintasi Jembatan Pamuruyan dikenal sebagai “Jembatan Militer” yang menghubungkan Bogor dan Sukabumi, menjadikannya salah satu infrastruktur strategis sejak masa kolonial.

Lalu Jembatan Pamuruyan mulai dibangun ulang dengan struktur yang lebih modern pada tahun 1903, bersamaan dengan pembangunan jembatan menuju Malingut dan Sukamaju yang melintasi Sungai Cipamuruyan.

Arsip mencatat bahwa: “Otorisasi telah diberikan untuk pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan berikut: Pembangunan jembatan dengan pembongkaran jembatan eksisting Tjitjatih II B.A. No. 27 yang terletak di jalan militer dari Soekaboerai ke Buitenzorg, ruas Soekaboemi (Preanger), dengan biaya diperkirakan sebesar f 24.824.”

Namun, jembatan tersebut memiliki persoalan utama yakni sering terjadi kecelakaan akibat kontur jalan yang curam dan jarak pandang yang sering terhalang, membuat kendaraan sulit dikendalikan, terutama saat melaju cepat.

Pada tahun 1935–1936, misalnya, beberapa insiden tercatat. Sebuah truk pengangkut buah terbalik di atas jembatan, mobil Citroen berpenumpang tujuh orang menabrak sisi jembatan, bahkan truk lain dalam kecepatan tinggi sempat keluar sebagian dari badan jembatan akibat hilang kendali.

“Jembatan yang panjang dan sempit itu memang agak berbahaya, yang hanya dapat diakses dari jalan landai yang tinggi, salah satu yang berbahaya adalah memiliki tikungan berbentuk S. Dulu banyak sopir-sopir dari Batavia yang tidak berpengalaman akhirnya jatuh ke sungai,” ujar Irman.

Lalu pada Maret 1935, masyarakat telah mengingatkan keberadaan warung-warung di lereng menuju jembatan yang menghalangi pandangan pengemudi. Relokasi bangunan tersebut menunggu persetujuan dana dari pemerintah provinsi.

Akhirnya para pemilik warung diminta pindah dan meratakan bangunannya demi keamanan bersama. Meski demikian, kecelakaan di jembatan ini masih tercatat hingga era 1980-an.

Sebagai jembatan bersejarah yang telah melintasi masa demi masa, Jembatan Pamuruyan selayaknya tidak berubah menjadi sumber malapetaka. Terlebih saat ini, proyek jembatan baru yang mangkrak justru menambah kekhawatiran publik yang seharusnya menjadu solusi akan kemacetan dan mengurangi kecelakaan.

“Diperlukan perhatian serius agar jembatan bersejarah ini tetap terawat serta proyek penyelesaiannya dapat berjalan sesuai rencana demi keselamatan dan kelancaran mobilitas masyarakat,” pungkas Irman.

 

Berita Terkait
Berita Terkini