Langkah Tak Lelah di Usia Senja: Jaji Penjaja Tikar Pandan dari Cibitung Sukabumi

Sukabumiupdate.com
Rabu 18 Jun 2025, 17:20 WIB
Langkah Tak Lelah di Usia Senja: Jaji Penjaja Tikar Pandan dari Cibitung Sukabumi

Jaji menunjukkan tikar pandan hasil kerajinan tangan yang ia jajakan dari kampung ke kampung di wilayah Sukabumi Selatan. (Sumber Foto: SU/Ragil)

SUKABUMIUPDATE.com – Di tengah derasnya arus modernisasi dan pergeseran minat masyarakat terhadap produk industri, semangat Jaji (71 tahun) dalam melestarikan tradisi tak pernah surut. Warga Kampung Cihurip, Desa Banyuwangi, Kecamatan Cibitung, Kabupaten Sukabumi ini, masih setia menjajakan tikar anyaman pandan yang telah digelutinya hampir sepanjang hidup.

Setiap hari, Jaji membawa puluhan lembar tikar pandan hasil kerajinan tangan, menyusuri kampung-kampung di wilayah Pajampangan. Mulai dari Surade, Ciracap, Ciemas, hingga Jampangkulon.

Ia menempuh perjalanan dengan berjalan kaki, menelusuri jalan-jalan perkampungan setelah turun dari ojek di pinggir jalan utama. Tikar-tikar yang dipikulnya bukan hanya hasil karya pribadi, tetapi juga berasal dari para pengrajin lain di desanya.

"Kalau ada barang, bisa bawa 25 sampai 30 lembar," ujarnya kepada sukabumiupdate.com, Rabu (18/6/2025), sambil tersenyum dan menyeka peluh di wajahnya yang dihiasi keriput penuh cerita.

Baca Juga: APBD 2024 Kabupaten Sukabumi Surplus Rp80,55 Miliar, PAD Lampaui Target

Kerajinan tikar pandan di Desa Banyuwangi bukan sekadar mata pencaharian, tetapi sebuah warisan budaya. Jaji mempelajari keahlian ini dari orang tuanya sejak masih lajang. Tradisi tersebut telah mengakar kuat dan diwariskan secara turun-temurun. Bahkan, hampir setiap rumah di desa itu menanam pandan, baik di halaman maupun di kebun, sebagai bahan baku utama.

Pada masa keemasannya, sekitar tahun 1970 hingga 1990, tikar pandan dari Desa Banyuwangi sangat diminati, bahkan banyak dipesan dari luar wilayah Pajampangan. Namun seiring waktu, kejayaan itu perlahan memudar, tergeser oleh produk pabrikan yang lebih murah dan praktis.

Meski demikian, Jaji tak gentar. Proses pembuatan tikar yang memakan waktu hingga tiga hari tak membuatnya surut semangat.

"Mulai dari petik pandan, direbus, direndam, dijemur, baru dianyam. Ukurannya dua meter panjangnya, lebarnya satu meter dua puluh," jelasnya.

Baca Juga: KDM: Pembangunan Harus Sejalan dengan Pemulihan Lingkungan

Satu lembar tikar pandan dijualnya seharga Rp100 ribu. Jika mengambil dari pengrajin lain, ia bisa mendapatkannya dengan harga Rp50 ribu hingga Rp75 ribu.

"Kadang kalau pembeli uangnya kurang, bisa ditukar sama beras. Saya nggak tega juga kalau mereka butuh tapi nggak punya cukup uang," ujarnya lirih.

Kini, ketiga anak laki-lakinya telah berkeluarga. Namun, Jaji tetap memilih untuk terus berjualan—bukan semata demi penghasilan, melainkan demi menjaga dan merawat warisan budaya yang semakin tergerus zaman.

Semangat Jaji adalah cerminan ketekunan, cinta terhadap tradisi, dan ketulusan hati seorang penjaga budaya. Di usianya yang tak lagi muda, ia tetap menjadi saksi hidup atas kearifan lokal yang tak boleh hilang begitu saja.

Berita Terkait
Berita Terkini