Timur vs Barat: Mengapa Moshing Dianggap Ancaman di Indonesia?

Sukabumiupdate.com
Selasa 19 Agu 2025, 13:00 WIB
Timur vs Barat: Mengapa Moshing Dianggap Ancaman di Indonesia?

Ilustrasi - Mengapadi Indonesia Moshing dianggap ancaman? (Sumber : AI/ChatGPT).

Ditulis: Danang Hamid

Moshing sebagai bagian tak terpisahkan dari konser musik ekstrem justru sering dipersepsikan sebagai ancaman di Indonesia, berbeda dengan di Barat yang menerimanya sebagai budaya.

Di festival-festival metal Eropa atau Amerika, mosh pit adalah area yang dihormati dengan aturan tak tertulis seperti penonton saling membantu yang jatuh, mengembalikan barang yang tercecer, dan aparat hanya turun tangan jika benar-benar terjadi kekerasan.

Bahkan promotor menyediakan tim medis khusus di sekitar pit. Lalu mengapa di Indonesia, gerakan ini sering berakhir dengan razia dan pentungan? 

Faktanya, penanganan moshing di Indonesia kerap tidak proporsional. Berbeda dengan Slayer yang membiarkan 500 penonton membentuk wall of death, atau konser-konser punk di Jerman yang mosh pit-nya justru diawasi aparat dengan kamera dokumentasi, di sini 10 orang bergerak circle pit saja bisa dianggap sebagai kerusuhan.

Baca Juga: Moshing: Sejarah Brutal di Balik Tradisi Ekstrem Dunia Konser

Beberapa alasan klasik seperti takut ricuh atau melanggar ketertiban sering dilontarkan, ironis ketika volume sound system sendiri jauh lebih mengganggu. Aturan absurd seperti larangan headbanging terlalu keras pernah diterapkan di sebuah venue Jakarta, menunjukkan betapa miskomunikasi terjadi. 

Akar masalahnya kompleks. Pertama, mentalitas harus tertib yang ekstrem membuat setiap ekspresi dianggap ancaman. Kedua, kurangnya pemahaman aparat tentang kultur musik ekstrem - mereka tidak pernah mendapat briefing bahwa moshing adalah bentuk euforia, bukan kekerasan. 

Ketiga, warisan Orde Baru yang masih memandang kerumunan sebagai potensi kerusuhan. Padahal, penonton yang membayar tiket seharusnya punya hak untuk menikmati musik sesuai caranya. 

Solusinya? Edukasi adalah kunci. Promotor bisa mengadakan workshop untuk aparat tentang kultur konser, menyediakan zona moshing khusus seperti di Hammersonic, dan musisi harus lebih vokal seperti Awan .Feast yang berani menegur tindakan represif.

Dengan komunikasi yang baik, mosh pit seharusnya bisa menjadi ruang ekspresi yang aman, bukan ajang saling curiga. 

Pertanyaan besarnya, sampai kapan penonton musik ekstrem di Indonesia harus meminta izin untuk berekspresi di acara yang mereka bayar sendiri? Jika Barat bisa menerima chaos sebagai bagian dari seni, mengapa kita masih terjebak dalam ketakutan akan kerumunan?

Artikel ini bukan hanya tentang moshing, tapi tentang hak untuk merayakan musik dengan cara paling liar sekalipun - selama semua paham aturan mainnya. 

 

Berita Terkait
Berita Terkini