JogjaROCKarta 2025 Ditutup Band Legendaris Anthrax

Sukabumiupdate.com
Selasa 09 Des 2025, 05:47 WIB
JogjaROCKarta 2025 Ditutup Band Legendaris Anthrax

JogjaROCKarta 2025 Ditutup Band Legendaris Anthrax (Credit Foto:@Jogjarockarta) (Sumber :Facebook)

SUKABUMIUPDATE.com - JogjaROCKarta (JRF) 2025 yang menghadirkan Anthrax dipastikan menjadi edisi pamungkas, menutup tirai festival rock paling ikonik di Indonesia ini setelah delapan tahun berjalan. Momen perpisahan yang dilakoni promotor di panggung Stadion Kridosono, Yogyakarta, terasa megah sekaligus penuh penghormatan, diumumkan secara sederhana namun mengena: "Kami, JogjaROCKarta pamit. Terima kasih."

Anthrax, sukses menghentak dan secara resmi menutup gelaran akbar Jogjarockarta Festival di Stadion Kridosono pada Minggu (7/12/2025) malam. Dalam sorotan lampu yang membelah kegelapan malam Yogyakarta, penampilan energik mereka bukan sekadar suguhan musik cadas belaka, festival ini telah bertransformasi menjadi mimbar cadas yang lantang dan krusial, menyuarakan isu-isu kemanusiaan dan keadilan sosial yang mendesak. Energi ribuan metalheads yang tumpah ruah di Kridosono menjadi bukti bahwa rock dan metal tetap relevan sebagai medium perlawanan kultural dan ekspresi kolektif, menegaskan peran Jogjarockarta sebagai lebih dari sekadar sarana hiburan massal, tetapi juga platform dialog kritis.

Didirikan sejak 2017, JRF sukses membangun ruang aman bagi penikmat musik keras lintas generasi. Menurut Founder, Anas Syahrul Alimi, perpisahan ini bukan kesedihan, melainkan sebuah perayaan atas pencapaian. Festival ini telah menciptakan kisah inspiratif termasuk memindahkan venue dari Candi Prambanan ke Kridosono secara dramatismembuktikan bahwa passion mampu mengatasi rintangan logistik.

Baca Juga: Mahasiswa Sukabumi Diminta Aktif Kontrol Pembangunan Infrastruktur

Edisi penutup, "The Majesty of Rock, Crowned in Jogja," menampilkan bintang kelas dunia seperti Anthrax (salah satu dari The Big Four Thrash Metal), Ugly Kid Joe, The Hu, dan Loudness. Perpisahan ini terasa menyentuh, menggambarkan kuatnya ikatan emosional antara festival, penonton (rockhead), dan Kota Yogyakarta, bagaikan pepatah "ditinggal pas lagi sayang-sayangnya."

Meskipun berakhir, JRF telah menorehkan cetak biru bagi festival rock internasional di Tanah Air, konsisten mendatangkan nama-nama besar seperti Dream Theater, Megadeth, Scorpions, dan terakhir Anthrax. Dampak JRF meluas dari sekadar hiburan:

  • Validasi Global: Menempatkan Indonesia dalam peta tur dunia, menunjukkan pasar musik cadas yang sehat dan potensial.
  • Panggung Lokal: Memberikan ruang bagi band lokal tampil berdampingan dengan idola global, memicu standar kualitas yang lebih tinggi.
  • Ekonomi Kreatif: Menggerakkan roda ekonomi lokal, pariwisata, dan UMKM sebagai multiplier effect kedatangan rockhead.

Diskografi Anthrax dimulai dengan ledakan kecepatan dan energi yang mendefinisikan East Coast Thrash. Setelah debut Fistful of Metal (1984) yang kasar, Anthrax menemukan identitasnya sejati dengan kedatangan vokalis Joey Belladonna di album Spreading the Disease (1985). Album ini, bersama dengan mahakarya mereka Among the Living (1987), menjadi fondasi bagi mereka sebagai anggota The Big Four.

Baca Juga: Rocky Gerung Kritik Keras Pencitraan Sebagai Pameran Kemanusiaan Palsu

Musik pada era ini dicirikan oleh kecepatan ekstrem, riffing gitar Scott Ian yang staccato dan agresif, serta lirik yang seringkali bernuansa sosial-politik atau terinspirasi budaya pop (termasuk komik). Vokal Belladonna yang melodis dan bernada tinggi memberikan kontras unik terhadap kekerasan musik thrash, membedakan mereka dari kegelapan band thrash lainnya. Era ini ditutup dengan State of Euphoria (1988) dan Persistence of Time (1990), yang menunjukkan pendewasaan dalam penulisan lagu dan nuansa yang lebih gelap, namun tetap mempertahankan energi khas mereka.

Setelah kepergian Belladonna pada awal 90-an, Anthrax memasuki fase yang lebih eksperimental dan didominasi oleh heavy groove. Kedatangan vokalis John Bush (eks-Armored Saint) membawa perubahan drastis dalam gaya vokal mereka, beralih dari melodi tinggi ke mid-range yang lebih gritty dan powerful. Album Sound of White Noise (1993) menandai kesuksesan komersial Anthrax di era grunge, menggabungkan elemen thrash dengan sentuhan modern dan groove metal yang lebih berat.

Diskografi Bush-era, termasuk Stomp 442 (1995) dan Volume 8 – The Threat Is Real (1998), menunjukkan eksplorasi sonik yang berani, meskipun sering kali memecah belah penggemar lama. Meskipun tidak secepat era awal, album-album ini membuktikan fleksibilitas Anthrax dalam mempertahankan relevansi musik cadas di tengah pergeseran dekade, menjauhkan diri dari formula thrash murni tanpa kehilangan identitas mereka sebagai band heavy metal.

Baca Juga: 10 Glamping Ilegal Milik WNA Korea di Pantai Citepus, Satpol PP Sukabumi: Wajib Dibongkar

Setelah periode fluktuasi anggota dan genre di awal 2000-an, Anthrax akhirnya kembali stabil dengan reuni penuh dan kembalinya Joey Belladonna secara permanen. Fase diskografi modern ini ditandai dengan kembalinya band ke akar thrash metal mereka, namun dengan kedalaman dan pengalaman yang telah mereka kumpulkan. Album comeback yang diakui secara kritis, Worship Music (2011), menunjukkan kembalinya mereka ke kecepatan dan energi klasik yang dirindukan penggemar, dibalut dengan produksi modern yang masif.

Puncak dari kembalinya mereka ke bentuk terbaik terlihat pada For All Kings (2016), sebuah album yang merayakan legacy mereka sambil terdengar fresh dan relevan. Diskografi Anthrax di era ini menunjukkan kematangan, dedikasi, dan kemampuan langka untuk mempertahankan kecepatan dan presisi yang dibutuhkan genre thrash, membuktikan mengapa mereka terus dihormati sebagai salah satu kekuatan abadi dalam heavy metal.

Penampilan Anthrax menjadi monumen perpisahan yang berkelas. Personel senior seperti Scott Ian dan Charlie Benante (berusia 60-an) menunjukkan masterclass kebugaran dan musikalitas yang luar biasa. Mereka mempertahankan kecepatan, presisi riffing, dan stamina vokal yang ekstrem, membuktikan bahwa musik rock dan metal adalah gaya hidup yang dapat dipertahankan hingga usia lanjut, asalkan gairah dan dedikasi tetap membara. Penutupan JRF 2025 menjadi akhir dari sebuah era cadas. Inisiatif sejenis dengan kaliber dan konsistensi yang sama mungkin akan membutuhkan waktu lama untuk menggantikannya, meninggalkan pertanyaan besar tentang kelanjutan tradisi mendatangkan band cadas berkualitas tinggi ke Indonesia. "Mabrur!" tulis akun Jogjarockarta di akun sosmed-nya.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini