Kisah 'Cinta Lokasi' Studio yang Berakhir Gantung Antara Michael Jackson dan Freddie Mercury

Sukabumiupdate.com
Selasa 25 Nov 2025, 13:28 WIB
Kisah 'Cinta Lokasi' Studio yang Berakhir Gantung Antara Michael Jackson dan Freddie Mercury

William Orbit berhasil melakukan lebih dari sekadar produksi, ia menyelesaikan kepingan puzzle sejarah 'Cinta lokasi' studio yang hilang. (Digital Image:Canva)

SUKABUMIIPDATE,com - Mari kita kembali sejenak ke tahun 1983, momen sejarah di mana dua manusia yang saat itu bisa dibilang sebagai dewa musik di Gunung Olympus masing-masing  bertemu terlibat 'Cinlok'. Di satu sisi, ada Michael Jackson, baru saja meluncurkan Thriller yang fenomenal, album yang mengubah definisi pop, tarian, dan penjualan rekaman untuk selamanya. Di sisi lain, berdiri Freddie Mercury, sang frontman flamboyan dari Queen, yang vokal empat oktavnya mampu menghipnotis ratusan ribu orang di stadion. Pertemuan mereka bukan hanya kolaborasi; itu adalah peristiwa kosmik yang seharusnya menghasilkan gempa bumi sonik. Namun, seperti banyak kisah asmara hebat, yang tersisa hanyalah tiga lagu demo, dan banyak spekulasi penuh gairah.

Lokasi 'peristiwa' ini adalah studio rumah Michael Jackson di Encino, California  lingkungan yang, saat itu, mungkin sudah terasa seperti Sangkar Emas pribadi Jackson. Dalam suasana yang pasti dipenuhi aura kejeniusan (dan mungkin sedikit kekakuan sosial), kedua legenda ini berhasil merekam setidaknya tiga 'bibit' lagu. Bayangkan momen itu: "State of Shock" yang funky dan siap mengguncang lantai dansa; "Victory" yang masih berupa janji samar; dan yang paling menusuk hati, "There Must Be More to Life Than This"  sebuah balada yang seharusnya menjadi monumen abadi bagi kerentanan vokal mereka. Kita tidak bicara soal demo biasa di sini; ini adalah sketsa yang jika saja diselesaikan, akan menjadi masterpiece yang mengubah kurikulum di akademi musik. Dunia berhak mendapatkannya, tapi rupanya, semesta punya rencana lain yang lebih dramatis.

Lalu, apa yang membuat proyek ini  yang potensi kesuksesannya sebanding dengan ledakan supernova  akhirnya harus dibiarkan gantung? Jawabannya terletak pada ketidakcocokan kepribadian dan metodologi yang begitu tajam. Kita berbicara tentang perbenturan dua kutub perfeksionisme. Freddie, seperti layaknya bintang opera rock, adalah sosok yang ingin menangkap momen magis secara spontan  get it done and move on! Sebaliknya, Michael adalah arsitek yang teliti, seorang penjahit musik yang siap menghabiskan waktu berhari-hari untuk 'mempertimbangkan' letak hi-hat atau lapisan vokal kelima belas. Perbedaan filosofis ini menciptakan friksi. Bayangkan saja, sang diva yang ingin cepat selesai harus menunggu sang Raja Pop untuk merenungkan nada bassline yang paling sempurna. Ini bukan hanya masalah jadwal; ini adalah masalah DNA artistik yang gagal melakukan fusi total.

Baca Juga: Rekomendasi 8 Film Thriller Indonesia yang Wajib Masuk Watchlist Kamu

Tentu, ada juga bumbu kisah yang paling terkenal, yang disampaikan oleh manajer Freddie Mercury, Jim "Miami" Beach, yang menambahkan sentuhan humor aristokratik. Ternyata, yang menjadi titik puncak ketidaknyamanan Freddie adalah... seekor llama. Ya, hewan peliharaan Michael Jackson yang unik itu sering menjadi tamu di studio. Bisa dibayangkan, seorang superstar rock legendaris, yang biasanya dikelilingi groupies dan sampanye, tiba-tiba harus berbagi vibes kreatif dengan seekor lama di ruang kendali. Konon, Freddie menelepon manajernya dengan nada frustrasi: "Sayang, aku merekam dengan seekor llama. Cepat jemput aku sebelum aku kehilangan akal sehatku." Ini mungkin terdengar lucu, tapi secara simbolis, kehadiran llama itu mewakili 'kebiasaan aneh' Jackson yang makin menjadi-jadi, yang akhirnya membuat Freddie merasa, cukup sampai di sini.

Meskipun kolaborasi itu gagal menjadi album pada masanya, sisa-sisa kemegahannya tetap menorehkan jejak. "State of Shock" 'didaur ulang' oleh Jackson bersama rocker lain, Mick Jagger, yang tentu saja sukses besar. Sementara "There Must Be More to Life Than This" direkam solo oleh Freddie di albumnya sendiri. Namun, kisah ini baru mencapai klimaksnya yang elegan pada tahun 2014. Anggota Queen, Brian May dan Roger Taylor, bersama produser ulung William Orbit, berhasil melakukan 'operasi penyelamatan' yang luar biasa. Mereka mengambil pita demo lama, membersihkan track vokal mentah dari Jackson dan Mercury, dan menyusun kembali musiknya agar terasa modern dan megah. Hasilnya adalah rilisan resmi "There Must Be More to Life Than This" versi duet yang emosional di album Queen Forever. Ini adalah hadiah tak terduga bagi penggemar, sepotong artefak yang membuktikan bahwa, meskipun sebentar, sihir itu benar-benar terjadi.

Kolaborasi Michael Jackson dan Freddie Mercury akan selalu menjadi babak 'The Greatest Album That Never Was' dalam ensiklopedia musik. Ini adalah kisah tentang dua jiwa yang terlampau agung, yang orbitnya hanya bersinggungan sesaat sebelum kembali ke jalur masing-masing. Itu adalah pelajaran berharga: kadang, dua hal yang luar biasa tidak selalu bisa disatukan. Namun, berkat keahlian teknis William Orbit dan keajaiban re-mastering, kita setidaknya punya secuil bukti dari pertemuan singkat itu. Bukti yang cukup untuk membuat kita bertanya-tanya, setiap kali mendengarnya, bagaimana jadinya jika llama itu tidak pernah masuk studio?

Baca Juga: 53 Ucapan Selamat Hari Guru: Terima Kasih Telah Menyalakan Cahaya dalam Gelap

Di balik konsol raksasa 24-track, kuasa studio era disco & rock tercipta. Dari Thriller hingga Dark Side, di sini magic musik analog lahir. #StudioLegendarisDi balik konsol raksasa 24-track, kuasa studio era disco & rock tercipta. Dari Thriller hingga Dark Side, di sini magic musik analog lahir. #StudioLegendaris

 Arsitek dari Pita Usang Sentuhan Modern Sempurnakan Kepingan Puzzle Sejarah

Penyelamatan duet legendaris ini sebagian besar berkat kecerdasan teknis dan sensitivitas artistik dari produser asal Inggris, William Orbit. Dikenal karena karyanya yang inovatif, terutama pada album Madonna yang mengubah vibe seperti Ray of Light, Orbit adalah pilihan yang ideal untuk tugas yang sulit ini. Ia diberi tugas yang hampir mustahil: mengambil pita kaset demo yang sudah tua dari tahun 1983 di mana vokal Michael Jackson dan Freddie Mercury direkam secara mentah, mungkin di tengah percakapan, dan diiringi dengan beatbox atau piano kasar  lalu mengubahnya menjadi lagu yang layak dirilis pada abad ke-21. Ini bukan sekadar mixing; ini adalah arkeologi audio yang membutuhkan kesabaran luar biasa untuk membersihkan, menyelaraskan, dan memisahkan setiap track vokal dari gangguan masa lalu.

Tantangan terbesar Orbit adalah menemukan keseimbangan yang sempurna: menghormati nuansa asli dan kejeniusan era 80-an tanpa membuatnya terdengar kuno di tahun 2014. Daripada hanya memoles musik demo asli, Orbit secara cerdas membangun fondasi instrumental yang sepenuhnya baru. Ia menambahkan tekstur sonik yang kaya, synthesizer yang atmosferik, dan string yang megah, menciptakan latar belakang yang layak bagi dua suara ikonik tersebut. Pendekatan ini memungkinkan vokal mentah Jackson dan Mercury bersinar. Sentuhan elektronik yang halus khas Orbit memastikan bahwa lagu tersebut tidak hanya terdengar seperti peninggalan museum, tetapi sebagai sebuah karya yang abadi, menunjukkan keajaiban yang bisa terjadi jika teknologi modern bertemu dengan bakat tak lekang waktu.

Dengan keahliannya, William Orbit berhasil melakukan lebih dari sekadar produksi, ia menyelesaikan kepingan puzzle sejarah yang hilang. Keberhasilannya terletak pada kemampuannya menyatukan dua diva vokal yang mungkin tidak bisa disatukan saat mereka masih hidup. Ia memastikan bahwa intensitas Freddie dan kehalusan Michael saling melengkapi, bukan saling bersaing. Hasilnya, "There Must Be More to Life Than This" yang dirilis pada album Queen Forever bukan hanya filler kompilasi; itu adalah testament yang emosional, sebuah epilog yang elegan dan damai bagi kolaborasi yang penuh gejolak di masa lalu. Berkat Orbit, dunia akhirnya bisa mendengar masterpiece yang tertunda selama tiga dekade.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini