Kota Sukabumi Paling Sedikit, Angka Disabilitas Jabar Tertinggi di Indonesia

Sukabumiupdate.com
Rabu 03 Des 2025, 15:34 WIB
Kota Sukabumi Paling Sedikit, Angka Disabilitas Jabar Tertinggi di Indonesia

Icon disabilitas (Sumber: copilot)

SUKABUMIUPDATE.com - Jawa Barat tercatat sebagai wilayah dengan angka penduduk disabilitas tertinggi di Indonesia. Dari 27 Kota dan Kabupaten di Jabar, Sukabumi tercatat sebagai daerah dengan disabilitas terbanyak kedua, setelah Kabupaten Bogor.

3 Desember, menjadi peringatan Hari Penyandang Disabilitas Internasional. Tahun ini (2025) tema yang diusung adalah "Fostering disability-inclusive societies for advancing social progress" (Mendorong masyarakat inklusif disabilitas untuk memajukan kemajuan sosial).

Tema ini tidak berdiri sendiri, melainkan berakar dari komitmen yang ditegaskan kembali dalam KTT Dunia Kedua untuk Pembangunan Sosial yang baru saja berlangsung di Doha, Qatar, pada 4 - 6 November 2025.

Baca Juga: Tanggapi Komentar Penggabungan Susukecir Aria Bima, Ketua DPRD Sukabumi Tegas Pemekaran Jadi Solusi

Angka Disabilitas di Indonesia

Jawa Barat tercatat sebagai provinsi dengan penduduk disabilitas tertinggi di Indonesia. Berdasarkan data Sistem informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) Per Desember 2022, penyandang disabilitas di Jabar mencapai 72.565 jiwa, terdiri atas laki-laki 42.133 jiwa dan perempuan 30.432 jiwa.

Kota Bandung tercatat sebagai daerah di Jawa Barat dengan angka disabilitas tertinggi, mencapai 9020 jiwa. Sedangkan Kota Sukabumi adalah wilayah di Jawa Barat dengan angka disabilitas terendah, yaitu 428 jiwa.

Regulasi Menghadap Jurang

Secara regulasi, Indonesia melangkah maju dengan komitmen pada standar internasional. Pengesahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas adalah fondasi hukum yang berarti, diikuti oleh sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) yang berkaitan dengan akomodasi yang layak di sektor pendidikan, peradilan, hingga pelayanan publik dan perlindungan dari bencana. Secara de jure, kerangka hukum ini bertujuan untuk mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan, dan menghilangkan diskriminasi.

Baca Juga: Motor Tabrak Truk di Cibadak Sukabumi, Dua Remaja Meninggal dan Satu Kritis

Namun, memasuki tahun 2025, realitas di lapangan berbicara lain. Implementasi UU tersebut seringkali berhadapan dengan tantangan bersifat struktural dan kultural. Kekurangan kejelasan dalam pedoman teknis pelaksanaan, alokasi sumber daya yang tidak memadai, serta lemahnya koordinasi lintas instansi pemerintah dan pemangku kepentingan berkontribusi pada kesenjangan besar antara harapan regulasi dan pemenuhan hak yang bermakna bagi penyandang disabilitas.

Pemenuhan hak penyandang disabilitas terhambat oleh tiga dimensi utama. Pertama, Aksesibilitas dan Infrastruktur: Meskipun UU bertujuan menjamin akses, infrastruktur fisik yang tidak dapat diakses mulai dari transportasi umum, ruang publik, hingga bangunan masih bersifat masif. Hal ini secara langsung membatasi hak dasar penyandang disabilitas untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan masyarakat.

Kedua, Hak Atas Pekerjaan dan Pendidikan: Data menunjukkan kesenjangan signifikan; Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) penyandang disabilitas jauh di bawah TPAK nasional. Meskipun ada kuota wajib (2% untuk BUMN/D dan 1% untuk swasta), penyerapan tenaga kerja masih rendah karena kurangnya akomodasi yang layak, diskriminasi, dan terbatasnya pelatihan vokasi yang inklusif. Selain itu, sekitar 17,85% penyandang disabilitas berusia di atas 5 tahun belum pernah mengenyam pendidikan formal, menunjukkan sistem pendidikan inklusif masih memerlukan penguatan yang signifikan.

Baca Juga: Makam Eyang Santri Dalem Dipenuhi Peziarah di Peringatan Hari Jadi Surade Sukabumi ke-267

Tantangan yang paling fundamental mungkin berada di tingkat sikap dan sosial. Stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas masih berakar kuat dalam masyarakat, seringkali bermuara pada kurangnya kesadaran dan pemahaman tentang hak-hak mereka. Perlakuan yang tidak tepat di layanan publik masih kerap terjadi karena petugas di lapangan tidak sepenuhnya memahami kewajiban mereka. Namun, semangat untuk berubah tetap berkobar.

Komisi Nasional Disabilitas (KND) yang telah berdiri, bersama dengan inisiatif daerah seperti uji publik Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) di berbagai provinsi, menunjukkan adanya gerakan kolektif untuk mempersempit kesenjangan antara hukum dan praktik.

 

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini