SUKABUMIUPDATE.com - Seorang anak yang memahami kekuatan sejati Ayahnya bukanlah ototnya, melainkan ketegaran sunyinya pernah bercerita, baginya, butuh waktu bertahun-tahun untuk benar-benar memahami kode rahasia dalam gerak-gerik Ayah.
“Aku kira dulu ia kuat karena otot lengannya yang mampu mengangkat galon air atau memperbaiki atap yang bocor. Belakangan aku sadar, kekuatan sejati Ayah bukanlah urusan fisik, melainkan ketegaran sunyi yang ia kenakan setiap pagi saat melangkah keluar rumah, seolah-olah ia bisa menghadapi seluruh beban dunia tanpa perlu bantuan siapa pun,” ungkapnya pada sebuah obrolan.
Hari Ayah Nasional, yang kita peringati setiap tanggal 12 November, adalah kesempatan untuk mengheningkan cipta sejenak bagi sosok yang berdiri tegak di ambang pintu, seringkali tanpa sorotan dan tanpa gemerlap pujian. Ayah adalah fondasi yang kokoh, tiang utama keluarga yang menopang atap, bukan dengan gemuruh teriakan, melainkan dengan hembusan napas panjang di akhir hari.
Baca Juga: Terekam CCTV: Pelaku Penipuan kepada Pedagang Tunanetra di Masjid Jalur Cibolang Sukabumi
Di balik citra seorang pria yang selalu siap dengan obeng dan kunci pas untuk membenahi segala kerusakan fisik di rumah, tersembunyi sebuah peran yang menuntut ketabahan emosional luar biasa! Peran yang mendefinisikan dirinya sebagai penjaga dan pemberi nafkah, namun jarang sekali diakui sebagai seorang pengasuh jiwa yang ulung. Kenyataan ini diperkuat oleh pakar, yang mencatat bahwa peran ayah di Indonesia "masih lebih banyak diberikan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan materi dan finansial dan belum mencakup keterlibatan pada pendampingan aspek-aspek psikologis anak" (Sobari, 2022).
Tahukah kamu? Hari Ayah Nasional kita (12 November) itu bukan impor dari luar negeri seperti Hari Ayah Internasional (Minggu ketiga bulan Juni) (Digital Image: Gemini)
Oleh karena itu, Ayah seringkali luput dari pandangan sebagai sosok yang butuh perhatian emosional. Ia adalah nakhoda kapal keluarga, yang kadar kebahagiaannya seringkali terikat pada kestabilan bahtera yang ia kemudikan, dan bukan pada kemewahan yang ia miliki.
Dad Jokes dan Keindahan Sederhana di Balik Tawa Garing
Tetapi, sisi lain Ayah di balik itu merupakan maestro dari Dad Jokes yang garing dan tak terduga, bentuk komedi yang hanya ia pahami kedalamannya. Ketika ia melontarkan lelucon ringan yang membuat kita hanya bisa tersenyum canggung misalnya, pertanyaan filosofis absurd tentang mengapa mata harus terpejam saat bersin ia sedang mengajarkan sebuah seni subliminal, seni untuk melepaskan ketegangan hidup melalui absurditas. Secara elegan, ia menunjukkan bahwa beban terberat pun bisa direspons dengan jeda ringan, dengan tawa yang mungkin tidak renyah, tetapi tulus.
Baca Juga: Bulan Penuh Teror! Ini 5 Film Horor Indonesia yang Tayang di Bioskop November 2025
Gerakan khasnya, berjalan dengan tangan saling menggenggam di belakang punggung, seolah menyimpan semua rahasia dan kekhawatiran, mengingatkan kita pada seorang filsuf tua yang menimbang-nimbang nasib dunia. Namun, esensi edukatifnya sangat jelas: Ayah mengajarkan keberanian untuk tidak menganggap diri terlalu serius, bahkan saat tuntutan hidup begitu mencekik. Ayah adalah pelawak tunggal bagi keluarganya, dan yang paling utama adalah menjaga agar air mata kesedihan tidak tumpah di hadapan mereka yang ia cintai.
Pria di Ranah Senyap Adalah Elegi Cinta dalam Aksi Bisu
Inilah poin krusial yang harus kita renungkan, “Mengapa bapak-bapak jarang ada yang disoroti? Coba baca artikel di tempat akang menulis, kebanyakan juga soal Perempuan,” kata Rahmat Nugraha (50), pengusaha kopi di Tasikmalaya yang biasa dipanggil Mamet.
Kata dia, publikasi media dan perhatian sosial cenderung mendominasi panggung bagi isu-isu yang melawan stereotip, khususnya perjuangan ibu. Namun, mengapa "urusan bapak-bapak" pergulatan pribadi, kecemasan, atau kelelahan emosional mereka sering kali tenggelam dalam keheningan? Jawabannya terletak pada penjara norma maskulinitas yang kaku. Psikolog UGM menegaskan, norma ini "menempatkan perempuan bertanggung jawab untuk urusan domestik dan mengurus anak. Sementara laki-laki bertanggung jawab pada urusan publik."
Baca Juga: Intel Gugat Eks Insinyur Buntut 18.000 File Rahasia Dicuri di Tengah Badai PHK
Ketika Ayah bekerja keras, itu dianggap netral dan normal tugas yang sudah sewajarnya dilakukan, sehingga tidak layak dijadikan berita. Sebaliknya, ketika ia mengalami kesulitan di luar ranah finansial, seperti depresi akibat kegagalan bisnis atau kesulitan mengekspresikan cinta dan kelembutan (terutama bagi ayah tunggal), hal itu dipandang sebagai penyimpangan dari ideal pria yang kuat.
Budaya mendorongnya untuk menekan emosi, menyimpannya rapat-rapat di laci hati yang terkunci. Akibatnya, Ayah adalah sosok yang paling sering berjuang dalam solitude (kesendirian). Kisah-kisah tentang ketakutan, kegelisahan, atau kebanggaan mereka yang mendalam terjadi di balik pintu yang tertutup rapat, luput dari sorotan kamera, dan terabaikan dalam narasi besar tentang perjuangan manusia.
Di sisi lain, Tari, Pakar Psikologi Keluarga UMS pernah mengungkapkan bahwa peran ayah dinilai lebih dominan dalam membangun "kepercayaan diri, role model kepemimpinan, dan menumbuhkan sikap mandiri" pada anak. "Lebih ke mempersiapkan anak menghadapi dunia luar." Cinta seorang ayah adalah sebuah elegi yang dinyanyikan bukan dengan kata-kata romantis, melainkan dengan alunan tindakan praktis dan konsisten. Ia adalah pelayan hening yang mengabadikan dedikasinya dalam wujud perbaikan, pemeliharaan, dan penyediaan. Ia tidak akan pernah mengatakan, "Nak, aku memikirkan masa depanmu," tetapi ia akan menghabiskan akhir pekan untuk membenahi atap rumah agar kita terlindungi dari hujan.
Ia tidak sering mengucapkan "Aku peduli," tetapi ia adalah yang pertama mengecek oli mobil sebelum kita melakukan perjalanan jauh. Wujud cinta yang paling menyentuh adalah pelukan Ayah: canggung, singkat, atau seringkali hanya berupa tepukan kuat yang terasa seperti dorongan semangat.
Pelukan itu adalah terjemahan non-verbal yang sarat makna, sebuah kode universal yang berbunyi, "Aku di sini. Aku tahu kamu lelah. Aku tidak akan membiarkanmu jatuh." Itulah mengapa, menghargai Ayah berarti membaca bahasa bisu yang ia gunakan, memahami bahwa kasih sayangnya hadir dalam setiap detail fungsional kehidupan kita.
Ayo Upgrade Role Ayah dari ATM Menjadi Best Friend!
Di Hari Ayah yang legend ini (12 November, lho!), saatnya kita break the frame! Sudah saatnya kita stop mengukur Ayah hanya dari slip gajinya atau seberapa tegas dia pas marah. Bayangkan Ayah sebagai sebuah software yang butuh update berkala, bukan sekadar mesin ATM berjalan.
Mari kita perluas peran Ayah dari sekadar penyedia logistik menjadi partner curhat yang valid. Kita perlu memahami bahwa Ayah juga butuh healing dan me time. Ia berhak melepaskan jubah keperkasaan itu di rumah tanpa takut dicap lemah atau gagal. Ayah kita juga manusia yang butuh tempat aman untuk bercerita tentang kekhawatirannya tanpa harus langsung mencari solusi, sama seperti kita!
Terutama, mari kita beri standing ovation untuk para Ayah Tunggal yang main rangkap jadi chief financial officer sekaligus chief loving officer! Mereka berjuang di dua medan yang berbeda: medan battle mencari nafkah dan medan diplomasi kehangatan di rumah. Perjuangan ganda mereka di dapur, di meja belajar, dan di ruang rapat kantor adalah sebuah epik yang layak diakui.
Sebab, seperti yang diungkap oleh peneliti Mubadalah.id, "Menjadi single parent baik single father ataupun single mother menjadi tantangan yang cukup berat bagi siapa saja yang melakoninya." Mereka bukan cuma "ayah" yang terpaksa menggantikan "ibu"; mereka adalah pahlawan yang mengintegrasikan kedua peran itu dalam satu paket superhero lengkap, menciptakan definisi baru tentang cinta tanpa batas gender.
Selamat Hari Ayah Nasional! Mari kita berikan apresiasi yang tulus, tidak hanya pada kekuatan yang terlihat saat Ayah memanggul beban, tetapi pada ketulusan hatinya yang tersembunyi, yang selalu berdetak demi kebahagiaan kita semua. Jangan lupa bilang, "Makasih ya, Yah, kamu cool banget!"
Baca Juga: Energi Hijau di Kabupaten Sukabumi, Dorong Perusahaan Bangun PLTS Atap Pabrik
Fakta Cepat Hari Ayah!
Tahukah kamu? Hari Ayah Nasional kita (12 November) itu bukan impor dari luar negeri seperti Hari Ayah Internasional (Minggu ketiga bulan Juni). Hari Ayah Nasional kita ini murni lokal pride!
Ide ini muncul dari Perkumpulan Putra Ibu Pertiwi (PPIP) di Solo pada tahun 2004, setelah banyak peserta sayembara menulis surat Hari Ibu yang bertanya: "Kapan Hari Ayah dirayakan?" Intinya: Karena Ayah kita terlalu sibuk jadi pahlawan di balik layar, akhirnya kita sendiri yang harus bikin hari spesial buat beliau! Itu namanya Apresiasi Mandiri Berbasis Kearifan Lokal!
Selamat Hari Ayah lagi! Sekarang, buruan kontak Ayahmu, dan jangan lupa tunjukkan apresiasimu!



