SUKABUMIUPDATE.com - Hampir dua tahun telah berlalu sejak CEO Meta, Mark Zuckerberg, dipaksa berdiri dan meminta maaf secara langsung kepada para keluarga yang anak-anaknya menjadi korban di platformnya.
Momen dramatis dalam sidang Senat AS pada 31 Januari 2024 itu, di bawah tekanan tajam dari para senator, diakhiri dengan janji reformasi besar-besaran untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual dan krisis kesehatan mental di Instagram.
Namun, serangkaian investigasi dan data terbaru menunjukkan janji tersebut belum terwujud menjadi aksi nyata yang signifikan. Perubahan berjalan lambat, sementara ancaman bagi pengguna muda justru terus berevolusi.
Baca Juga: Nomor 5 Jadi Tameng dari Hacker! 7 Tools Rahasia Bikin Produktivitas WFA Melejit
Realitas di Balik Janji: Algoritma dan Eksploitasi Masih Merajalela
Pada sidang Januari 2024 lalu, dunia menyaksikan bagaimana para senator, baik dari Partai Demokrat maupun Republik, mencecar Zuckerberg dengan data suram: skema sextortion yang merenggut nyawa, hingga konten pro-bunuh diri yang menargetkan remaja. Zuckerberg berjanji akan memberantasnya.
Kenyataannya, situasi di lapangan masih jauh dari aman:
Algoritma yang Belum Berubah: Laporan terbaru dari Common Sense Media dan beberapa lembaga riset independen menyoroti bahwa algoritma Instagram dan Facebook masih secara proaktif menyodorkan konten berbahaya.
Akun-akun yang mempromosikan gangguan makan (eating disorder), konten menyakiti diri sendiri (self-harm), dan tantangan berbahaya masih dengan mudah direkomendasikan kepada akun-akun percobaan yang didesain sebagai pengguna remaja.
Baca Juga: Sudah Tahu Belum? Akun Instagram di Bawah 1.000 Pengikut Kini Tak Bisa Siaran Langsung
Peningkatan Eksploitasi Finansial dan Seksual: Investigasi terbaru dari The Wall Street Journal yang dirilis pada pertengahan 2024 menemukan bahwa skema sextortion—di mana predator memeras korban untuk mengirim uang setelah diancam foto intimnya akan disebar—telah meningkat sebesar 30% di Instagram sepanjang tahun ini. Para ahli menyebut fitur pesan langsung (direct message) masih menjadi celah keamanan utama.
Deteksi AI yang Tidak Efektif: Meskipun Meta mengklaim telah berinvestasi miliaran dolar pada teknologi AI untuk mendeteksi dan menghapus konten eksploitasi anak (CSAM), efektivitasnya dipertanyakan. Predator kini semakin cerdik menggunakan bahasa sandi, gambar yang dimodifikasi tipis, dan grup-grup privat untuk menghindari deteksi otomatis.
"Janji di ruang sidang tidak ada artinya jika model bisnis intinya tidak diubah," ujar Dani Surya, Direktur Advokasi CyberSafe Foundation, dalam sebuah wawancara. "Masalahnya bukan hanya konten eksplisit, tetapi juga mekanisme micro-targeting dan algoritma rekomendasi yang dirancang untuk memaksimalkan interaksi, bahkan jika interaksi itu bersifat toksik bagi kesehatan mental anak."
Regulasi yang Terhambat Lobi Industri Teknologi
Di tingkat kebijakan, sidang Senat memang berhasil mendorong momentum legislatif. RUU Kids Online Safety Act (KOSA), yang mewajibkan platform untuk bertindak demi kepentingan terbaik anak di bawah umur, mendapatkan dukungan bipartisan yang kuat.
Namun, di balik layar, pertarungan sengit terjadi. Zuckerberg dan para CEO teknologi lainnya, yang secara publik menyatakan dukungan, justru mengerahkan kekuatan lobi mereka untuk melemahkan pasal-pasal kunci dalam RUU tersebut. Dengan dalih melindungi kebebasan berekspresi dan privasi pengguna, Meta dan aliansi industrinya dilaporkan menggelontorkan puluhan juta dolar untuk memastikan regulasi yang lolos tidak akan mengganggu model bisnis periklanan mereka secara fundamental.
Apa yang Bisa Dilakukan Orang Tua?
Sambil menunggu perubahan sistemik yang lambat dari korporasi, peran aktif orang tua menjadi benteng pertahanan pertama yang krusial. Beberapa langkah praktis yang bisa diambil antara lain:
Gunakan Fitur Pengawasan Bawaan: Aktifkan fitur "Parental Supervision" di Instagram untuk memantau aktivitas anak, membatasi waktu penggunaan, dan mendapatkan notifikasi jika anak melaporkan sebuah akun.
Bangun Literasi Digital Kritis: Ajak anak berdiskusi secara terbuka tentang risiko di dunia maya, cara mengenali predator, dan pentingnya menjaga privasi. Ajarkan mereka untuk tidak mudah percaya dan selalu bersikap kritis terhadap siapa pun yang mereka temui secara online.
Batasi Penggunaan Gawai: Terapkan aturan tegas mengenai waktu penggunaan gawai (screen time), terutama di malam hari dan di dalam kamar tidur, untuk mengurangi risiko interaksi tanpa pengawasan.
Perjalanan Menuju Keamanan Digital Masih Panjang
Permintaan maaf Mark Zuckerberg mungkin terdengar tulus, tetapi hampir dua tahun kemudian, data menunjukkan bahwa perubahan yang berarti masih sangat jauh. Perlindungan anak di era digital tidak bisa lagi hanya bergantung pada janji manis para raksasa teknologi atau segelintir orang dan kelompok tertentu.
Tekanan yang berkelanjutan dari publik, tindakan tegas dari regulator, serta pengawasan aktif dari keluarga adalah tiga pilar utama yang harus ditegakkan bersama untuk memaksa adanya perubahan nyata untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih aman bagi generasi mendatang dan menyelamatkan anak-anak kita, Keluarga Indonesia.
(Sumber: Dari berbagai sumber/Youtube.com)
Penulis: Danang Hamid