SUKABUMIUPDATE.com - Fakta mengejutkan diungkap Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti dalam rapat kerja dengan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat pada 26 November 2025 lalu. Menteri membuka data, bahwa nilai matematika pelajar sekolah menengah atas atau SMA jeblok.
Data tersebut diambil dari TKA (Tes Kemampuan Akademik) yang dilakukan pada bulan November 2025. Abdul Mu’ti mengungkapkan jebloknya nilai matematika SMA karena banyak faktor, namun sang menteri tidak menjelaskan lebih detail soal faktor penyebab buruknya nilai matematika siswa SMA ketimbang pelajaran lain.
Melansir tempo.co, kemampuan matematika pelajar Indonesia juga tercermin dalam Programme for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Program ini bertujuan mengukur kemampuan siswa berusia 15 tahun dalam memecahkan permasalahan, berpikir kritis, ataupun berkomunikasi.
Baca Juga: Wali Kota Sukabumi Hadiri Rakor Pembahasan Kuota Haji dan Umrah Jabar di Lembur Pakuan
Selain matematika, siswa juga diuji kemampuannya dalam membaca dan sains. Berdasarkan hasil PISA pada 2022, skor matematika pelajar Indonesia anjlok dari 379 pada 2018 menjadi 366. Di level Asia Tenggara, kemampuan matematika pelajar Indonesia hanya lebih baik dari Filipina dan Kamboja.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan periode 2021-2024, Anindito Aditomo, mengatakan penurunan skor PISA menggambarkan efek kehilangan pembelajaran (learning loss) karena pagebluk Covid-19. Pembelajaran jarak jauh selama hampir dua tahun menyebabkan banyak siswa kesulitan menyerap materi pembelajaran.
Dampaknya?
Melansir educenter.id, fakta ini memiliki dampak yang luas, khususnya pada prestasi akademik. Ketika nilai matematika rendah karena anak tidak suka matematika, prestasi akademik mereka secara keseluruhan bisa terganggu.
Baca Juga: Dorong Perputaran Ekonomi Wisata, Dispar Sukabumi Atur Tarif hingga Pengelolaan Sampah
Matematika adalah mata pelajaran yang saling terkait dengan sains, fisika, kimia, dan bahkan ekonomi. Kelemahan di matematika akan berdampak domino ke pelajaran lain.
Rasa percaya diri anak juga menurun drastis. Mereka mulai merasa bodoh dan tidak mampu. Pola pikir ini bisa menyebar ke aspek kehidupan lain, membuat anak menjadi pesimis dan mudah menyerah menghadapi tantangan.
Lebih parah lagi, anak bisa mengembangkan rasa putus asa yang dipelajari – kondisi dimana mereka percaya bahwa usaha apapun tidak akan mengubah situasi. Mereka berhenti berusaha dan pasrah dengan label “anak yang lemah matematika.”
Baca Juga: PNM: Bronjong Baru di Sukabumi Untuk Kurangi Risiko Longsor dan Lindungi Usaha Ultra Mikro
Keterbatasan Pilihan Karir di Masa Depan
Di era digital ini, hampir semua profesi membutuhkan kemampuan numerik yang baik. Dari bisnis, teknologi, kedokteran, hingga seni, semuanya melibatkan konsep matematika. Anak yang fobia matematika akan kehilangan banyak peluang karir menarik.
Gaji profesi yang membutuhkan kemampuan matematika juga umumnya lebih tinggi. Analis data, programmer, insinyur, dan analis keuangan adalah profesi dengan bayaran menarik yang membutuhkan dasar matematika kuat. Anak yang tidak suka matematika akan sulit mengakses profesi-profesi ini.
Yang lebih mengkhawatirkan, kemampuan memecahkan masalah dan berpikir logis yang diasah matematika sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Anak yang menghindari matematika akan kesulitan membuat keputusan finansial yang bijak atau memecahkan masalah kompleks.






