Proyeksi 2018: Antara Tahun Politik dan Krisis Ekonomi 10 Tahunan

Sukabumiupdate.com
Sabtu 24 Feb 2018, 16:47 WIB
Proyeksi 2018: Antara Tahun Politik dan Krisis Ekonomi 10 Tahunan

SUKABUMIUPDATE.com - Setelah mencatat pertumbuhan 5 persen sepanjang 2017, Indonesia disebut-sebut bakal menghadapi masa-masa sulit pada tahun depan. Setidaknya ada dua hal yang dianggap menghantui situasi ekonomi 2018.

Pertama, 2018 adalah tahun politik karena di 17 provinsi dan 153 kota/kabupaten, digelar pesta demokrasi pemilihan kepala daerah serentak pada 27 Juni. Situasi politik bakal memanas dan dikhawatirkan mengganggu pertumbuhan ekonomi.

Kedua, ada kekhawatiran terjadinya siklus krisis 10 tahunan, setelah resesi melumpuhkan sebagian besar dunia pada 1998 dan krisis ekonomi 2008. Dunia pada 2018 pun dikhawatirkan akan jatuh pada krisis besar.

Pada 2018 dan 2019 disebut sebagai tahun politik. Sebab, ada pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum secara serentak. Terhadap ekonomi Indonesia, peristiwa itu bisa berdampak negatif. Tetapi jika suasananya kondusif bisa berdampak positif.

Pakar ekonomi Edy Suandi Hamid mengingatkan pemerintah, target pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,4 persen bisa meleset. Diprediksi pertumbuhan ekonomi hanya 5,3 persen saja. "Berat mencapai target. Tiga tahun terakhir kenaikannya hanya sekitar 0,1 persen," kata Edy, Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta.

Mantan Rektor Universitas Islam Indonesia ini mengatakan tahun politik bisa memberi manfaat positif, tapi juga dampak negatif. Manfaat positifnya, ekonomi bisa tumbuh melalui belanja partai politik. Sedangkan efek negatifnya ada pada sisi investasi. Investor akan wait and see, menunggu keamanan dan risiko yang lain terkait dengan investasi yang ditanam.

Adapun isu mengenai siklus krisis ekonomi setiap 10 tahun, merujuk pada krisis yang terjadi pada 1998 dan 2008. Penyebab utama krisis 1998 adalah nilai tukar mata uang, terutama di Asia, yang tidak fleksibel, tidak ada sinkronisasi terhadap kurs dan capital inflow (arus modal masuk). Sedangkan penyebab krisis 2008 salah satunya adalah akumulasi dari risiko perkembangan teknologi.

Menurut ekonom Bank Dunia, Frederico Bil Sander, tidak ada siklus seperti itu, apalagi sampai mengancam Indonesia pada tahun mendatang. Frederico menilai kondisi Indonesia saat ini sudah jauh membaik dibandingkan saat krisis 1998 dan 2008.

Frederico mengatakan fondasi makro ekonomi Indonesia saat ini sangat kuat. Pemerintah Indonesia, menurut dia, telah punya cukup persiapan untuk menghadapi potensi krisis. Salah satu indikatornya adalah meningkat level ekspor, setelah perbaikan nilai komoditas. "Level konsumsi yang sempat menurun pada paruh pertama 2017, mulai meningkat pada kuartal III 2017, sekitar 5,5 persen (qoq)" ujarnya.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro juga mengatakan kondisi ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih solid dan kuat dibanding ketika terjadinya krisis ekonomi baik pada 1998 ataupun 2008.

"Saya sih lihat kalau itu enggak ada siklus-siklusan. Kalau lihat sekarang ini dengan kejadian tahun 1998 dan 2008, orang sudah banyak belajar ya, semua orang lebih hati-hati," kata Bambang.

Pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi 5,4 persen pada APBN 2018. Namun Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution memperkirakan ekonomi bisa tumbuh lebih tinggi dari target tersebut.

Darmin mengatakan ekonomi tahun depan akan didorong investasi dan ekspor. Keduanya tumbuh cukup baik pada 2017 dan perbaikan diharapkan terus berlanjut. Pemerintah juga akan berupaya memperbaiki pengeluaran pemerintah dan konsumsi rumah tangga agar pertumbuhan ekonomi meningkat.

Faktor pendorong lainnya adalah pilkada di 171 daerah. "Biasanya pemilu menyumbang 0,1 hingga 0,2 persen pertumbuhan ekonomi," kata dia. Sentimen positif lainnya datang dari penyelenggaraan Asian Games, Agustus 2018. Pesta olahraga se-Asia itu dinilai Darmin berpotensi mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

Dengan faktor pendukung tersebut, Darmin percaya ekonomi bisa tumbuh lebih tinggi dari asumsi yang dipatok pemerintah. "Kenaikan 0,2 sampai 0,3 persen dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup reasonable (masuk akal)," ujarnya.

Namun guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Irwan Adi Ekaputra, mengingatkan bahwa posisi ekonomi dan kondisi keuangan global tetap berpengaruh terhadap ekonomi 2018. Karena itu, menurut dia, pelaku pasar, pengusaha masyarakat termasuk pemerintah untuk tetap waspada akan kemungkinan terjadinya krisis ekonomi.

Sumber: Tempo

Berita Terkini