SUKABUMIUPDATE.com - “Zaman sekarang perang makin murah. Dulu negara mengirim tentara manusia, sekarang cukup mengirim mesin, drone, dan kecerdasan buatan. Kita sudah tidak hidup di era disrupsi. Ini sudah memasuki Quantum Age, zaman ketika konflik bisa muncul hanya dengan algoritma dan keputusan bisa diambil oleh mesin. Jika negara tidak cepat beradaptasi, kita bisa kalah bahkan tanpa tahu siapa musuhnya,” ujar Prof. Rhenald Kasali, Ph.D., dalam Keynote Speak panel Diskusi Refleksi Akhir Tahun yang diselenggarakan Deep Intelligence Research, DEEP Indonesia, dan Rumah Perubahan di Bekasi, Senin (2/12).
Menurut guru besar ilmu manajemen ini, dunia kini memasuki fase baru yang perubahan-perubahannya tidak lagi linier atau eksponensial, melainkan melompat-lompat secara kuantum. Dalam zaman Kuantum, negara dapat terguncang bukan oleh kekuatan militer, melainkan oleh teknologi yang bergerak jauh lebih cepat dari kapasitas institusi negara untuk membaca, merespons, dan mengantisipasi. “Di Quantum Age, intuisi politik tidak cukup. Negara harus mengambil keputusan secepat teknologi bergerak,” tegasnya.
DEEP Intelligence: Publik Alami Krisis Kepercayaan Sepanjang 2025
Dalam sesi pemaparan riset, Direktur DEEP Indonesia yang juga Direktur Komunikasi Deep Intelligence Research (DIR), Neni Nur Hayati mempresentasikan riset tahunan berbasis artificial intelligence (AI) terhadap 174.730 percakapan publik di media sosial sepanjang 2025. Temuan DIR menunjukkan penurunan signifikan kepercayaan publik terhadap berbagai sektor nasional.
“Percakapan publik didominasi isu otoritarianisme, konflik elite, PSU yang berlarut-larut, hingga kekecewaan masyarakat terhadap komunikasi kebijakan pemerintah. Lonjakan terbesar terjadi saat demo nasional 28 Agustus lalu,” ujar Neni.
Baca Juga: Benarkah Vinicius Jr akan Hengkang dari Real Madrid Usai Piala Dunia 2026?
Publik juga mempersepsikan hukum sebagai semakin tidak konsisten. Narasi seputar RUU KUHAP serta kasus besar seperti Hasto, Tom Lembong, dan Ira Puspadewi mendominasi sentimen negatif. Narasi “KPK sudah tidak relevan” menjadi salah satu isu yang paling menetap.
“Program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) mendapat perhatian besar, namun diiringi kritik mengenai ketidaksiapan eksekusi. Janji pertumbuhan ekonomi 8% juga dinilai publik sebagai harapan yang tidak realistis,”papar Neni.
Menurut Neni, publik menilai sikap pemerintah terhadap krisis Gaza tidak konsisten. Riset menemukan jurang persepsi antara media dan publik: pemberitaan media cenderung positif, sementara warganet menunjukkan ketidakpercayaan yang meluas.
“Publik bukan hanya mengkritik. Mereka kelelahan karena kebijakan terasa jauh dari realitas yang mereka hadapi. Ini menandakan hubungan negara dan warga berada dalam titik paling rawan.”
Menanggapi temuan riset berbasis AI dari Deep Intelligence Research, Rhenald menegaskan bahwa negara tidak bisa lagi bekerja dengan pola lama yang birokratis, lambat, dan berorientasi dokumen. Pemerintah harus masuk ke logika baru yang sesuai dengan Quantum Age.
Ia mengingatkan bahwa ancaman masa depan tidak lagi datang dari tank dan pasukan, melainkan dari kecerdasan buatan, informasi palsu, dan serangan digital.
“Rakyat hidup dengan logika digital. Negara harus mengejar ritme itu. Jika tidak
berubah, maka distrust akan membesar dengan cepat,” katanya.
Forum diskusi refleksi akhir tahun ini menghadirkan tokoh-tokoh lintas sektor yang memberikan perspektif strategis terhadap hasil riset Deep Intelligence Research, antara lain: Prof. Rhenald Kasali, founder Rumah Perubahan Andi Widjajanto, politisi & analis kebijakan dan politisi PDIP, Neni Nur Hayati, direktur DEEP Indonesia dan Direktur Komunikasi DIR, Atmaji Sapto Anggoro, praktisi Big Data & artificial intelligence, H. Oleh Soleh, anggota Komisi XI DPR, Muhammad Sarmuji, sekjen Partai Golkar, Muhammad Kholid, sekjen Partai Keadilan Sejahtera, dan Yuhronur Efendi, Bupati Lamongan.
Kehadiran para tokoh ini memberi pesan dan komitmen bahwa tantangan demokrasi, hukum, ekonomi, dan tata kelola negara memerlukan respons lintas disiplin.
Menutup forum, Direktur DEEP Indonesia Neni Nur Hayati menegaskan bahwa tantangan Indonesia hari ini bukan lagi terletak pada ketersediaan data, melainkan pada kemampuan bangsa menggunakannya secara kolektif.
“Ketika big data sudah ada, pertanyaannya, how the next? Bagaimana kita bergerak? Dengan siapa kita bergerak? Karena di era seperti ini, kolaborasi adalah kunci,” ujarnya.
Neni menambahkan bahwa data hanya akan berdampak jika pemerintah, legislator, akademisi, teknolog, dan masyarakat sipil masuk ke dalam ekosistem kolaboratif yang sama. Tanpa kerja bersama lintas sektor, Indonesia akan sulit mengejar percepatan perubahan di zaman kuantum.
Baca Juga: DPRD Sukabumi Pastikan 8.164 Guru Honorer Dilantik Jadi PPPK Paruh Waktu
Tentang Deep Intelligence Research (DIR):
Adalah sebuah lembaga riset berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence) di Indonesia yang dibangun untuk menjawab tantangan pemanfaatan big data untuk pengambilan keputusan public dan keputusan bisnis dengan lebih akurat, transparans, dan menjawab kebutuhan public secara lebih presisi. Dengan berbasis data yang ada, keputusan bisa diambil dengan cepat dan menjawab masalah riil yang dihadapi masyarakat. DIR berdiri pada tahun 2025.






