SUKABUMIUPDATE.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menjalin kerja sama dengan sejumlah operator telekomunikasi terkait pemanfaatan data dan informasi, termasuk penyadapan.
Nota kesepahaman (MoU) tersebut diteken pada Rabu, 25 Juni 2025, oleh Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Reda Manthovani dengan empat operator seluler yakni PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Tbk, dan PT XL Smart Telecom Sejahtera Tbk.
Reda menjelaskan bahwa kerja sama ini menjadi bagian dari penguatan intelijen penegakan hukum di Indonesia. Ia menyebut, tugas intelijen kejaksaan mencakup pengumpulan dan analisis informasi untuk mendukung proses hukum yang sedang berjalan.
“Business core intelijen kejaksaan berpusat pada pengumpulan data dan/atau informasi yang selanjutnya sebagai bahan untuk dianalisis, diolah, dan dipergunakan sesuai dengan kebutuhan organisasi,” kata Reda, dikutip dari tempo.co, Minggu (29/6/2025).
Menurut Reda, kolaborasi dengan penyedia layanan komunikasi ini penting agar informasi yang dikumpulkan memiliki kualitas dan validitas tinggi. Ia menyebut data tersebut dapat digunakan untuk mencari buronan, mendukung penegakan hukum, hingga menyusun analisis komprehensif terkait kasus tertentu.
Kejaksaan menyatakan dasar hukum kerja sama ini mengacu pada Pasal 30B huruf e Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, yang menyebutkan kejaksaan memiliki kewenangan melakukan pengawasan multimedia.
Namun demikian, sejumlah anggota DPR memberikan respons kritis terhadap kerja sama tersebut, terutama terkait potensi pelanggaran hak privasi dan belum adanya payung hukum penyadapan yang spesifik.
Puan Maharani: Jangan Abaikan Perlindungan Data Pribadi
Ketua DPR RI, Puan Maharani, mengingatkan Kejaksaan untuk berhati-hati dalam menjalankan kerja sama penyadapan ini. Menurutnya, penegakan hukum memang penting, namun tidak boleh melanggar hak konstitusional warga negara.
"Penegakan hukum sangat penting, tapi Kejaksaan harus memperhatikan hak atas perlindungan data pribadi karena hak privat adalah hak konstitusional,” ujar Puan dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Jumat, 27 Juni 2025.
Puan menekankan bahwa kolaborasi antara lembaga hukum dan pelaku industri harus mempertimbangkan aspek transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan hak sipil. Ia menolak jika kemajuan teknologi justru digunakan untuk mengawasi masyarakat secara sewenang-wenang.
"DPR akan mengawal setiap bentuk integrasi teknologi dalam penegakan hukum agar selaras dengan etika konstitusi," tutur Puan.
Nasir Djamil: Penyadapan Harus Diatur Lewat UU Khusus
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, mempertanyakan legalitas nota kesepahaman tersebut. Ia mengingatkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-VIII/2010 menyatakan penyadapan wajib diatur melalui undang-undang tersendiri.
“Putusan MK itu jelas menyatakan bahwa penyadapan harus diatur melalui undang-undang khusus,” kata Nasir, Sabtu, 28 Juni 2025. “Sampai hari ini, beleid itu belum juga dibentuk, baik oleh pemerintah maupun DPR.”
Nasir menyoroti Pasal 30C UU Kejaksaan, yang menyebut penyadapan oleh kejaksaan hanya dapat dilakukan jika sudah ada undang-undang khusus. Oleh karena itu, ia mengaku terkejut atas penandatanganan MoU penyadapan oleh Kejaksaan dan operator seluler.
“Mudah-mudahan awal Juli ini kami bisa mengundang Kejaksaan Agung. Salah satu agendanya tentu untuk meminta penjelasan terkait nota kesepahaman ini,” ujarnya. “Kami tidak ingin ada kesalahpahaman dalam memahami Pasal 30C.”
Martin Tumbelaka: Perlu Pengawasan Ketat
Senada, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Martin Tumbelaka, menyatakan bahwa kerja sama ini harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat, terutama terkait perlindungan hak privasi.
"Kerja sama ini harus dibarengi dengan mekanisme pengawasan yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan tuduhan berbagai pihak terkait privasi data warga negara," kata Martin, Sabtu, 28 Juni 2025.
Ia mendorong Kejaksaan untuk menjaga akuntabilitas dalam setiap proses penyadapan. Nota kesepahaman, menurut Martin, harus menjelaskan secara rinci prosedur teknis, pelaporan, dan evaluasi yang dapat diaudit publik.
Politikus Gerindra itu juga menyarankan agar lembaga seperti Komnas HAM dan Komisi Informasi dilibatkan dalam pengawasan, guna menjamin keseimbangan antara kepentingan hukum dan perlindungan hak-hak sipil.
"Komisi III DPR akan terus melakukan pengawasan terhadap implementasi memorandum of understanding ini untuk memastikan tidak ada penyimpangan," ujar Martin.
Sumber: Tempo.co