SUKABUMIUPDATE.com - Di ruang perawatan intensif RSUP Dr. Sardjito, Alexander Theodore Lamoh, sang vokalis dengan suara serak yang telah bergetar di panggung rock Indonesia selama empat dekade, perlahan mengakhiri pertempurannya melawan komplikasi penyakit. Jam digital menunjukkan pukul 02.11 WIB ketika detak jantungnya berhenti, sebuah momen senyap yang kontras dengan gaung melengking vokal ikoniknya dalam lagu-lagu Edane dan Elpamas. Kepergian Ecky Lamoh pada usia 64 tahun bukan sekadar berita duka tentang seorang musisi, melainkan narasi tentang berakhirnya sebuah era di mana semangat rock Indonesia dibentuk oleh karakter vokal yang tak tertandingi dan dedikasi pribadi yang melampaui panggung musik.
Meninggalnya Alexander Theodore Lamoh, atau yang akrab disapa Ecky Lamoh, pada 30 November 2025 lalu menyisakan duka mendalam sekaligus membuka lembaran kenangan tentang sosoknya yang ternyata jauh lebih multidimensi dari sekadar vokalis band rock legendaris Edane dan Elpamas. Dikenal dengan teknik vokal tinggi melengking yang serak dan bertenaga, Ecky adalah pribadi dengan segudang kisah unik. Berikut adalah 7 fakta menarik dari perjalanan hidup ikon rock Indonesia tersebut:
- Nama Panggung 'Ecky' Berasal dari Cadangan Masa Kecil
Nama Ecky bukanlah nama lahir, melainkan adaptasi dari panggilan sayang. Saat kecil, ia dipanggil "Leki" (kependekan sayang dari Alexander), namun karena ia masih cadel, ia hanya bisa mengucapkan nama itu sebagai "Eki", yang kemudian melekat dan diabadikan sebagai nama panggungnya, Ecky Lamoh. Detail linguistik dan personal ini menunjukkan sisi hangat dari persona rocker yang keras.
Baca Juga: Panduan Lengkap Monetisasi Musik AI di YouTube (Cover vs. Orisinal)
- Marga "Lamoh" Punya Akar Sejarah Kolonial
Marga Lamoh yang ia sandang, yang berasal dari keturunan Minahasa, Sulawesi Utara, memiliki sejarah menarik. Kata asalnya adalah "Lamo", yang berarti panjang dalam bahasa Minahasa. Perubahan dari "Lamo" menjadi "Lamoh" terjadi pada era kolonial Belanda di Batavia sekitar tahun 1912, sebuah detail yang menghubungkan latar belakangnya dengan sejarah etnis dan penjajahan.
- Seorang Pendeta dengan Sabuk Hitam Karate
Jauh dari citra rock and roll yang identik dengan panggung dan distortion gitar, Ecky Lamoh adalah seorang yang sangat religius dan berdisiplin fisik. Ia adalah seorang Sarjana Pendidikan Agama Kristen (S.Pd.K) dan aktif melayani sebagai pendeta di Gereja Bethel Indonesia (GBI). Di sisi lain, ia juga memiliki gelar Black Belt Karate, sebuah kombinasi unik yang menggambarkan perpaduan antara spiritualitas, intelektualitas, dan kedisiplinan fisik dalam dirinya.
- Vokal Ikonik di The Beast Edane Hanya Bagian dari Duo "E & E"
Sebelum Edane terbentuk penuh, Ecky Lamoh dan Eet Sjahranie sempat membuat proyek duo bernama "E & E" (Ecky & Eet). Kolaborasi ini menjadi fondasi kuat yang menghasilkan album debut monumental The Beast (1993). Album yang melahirkan hits seperti "Ikuti" ini merupakan hasil sinergi vokal dan gitar yang sangat padu, sebuah momen krusial yang mengokohkan genre heavy metal di Indonesia.
Baca Juga: Mengapa Bencana Sumatera Mendesak Status Nasional? Tiga Provinsi Porak-poranda!
EDANE live sebagai "Opening Act" Konser Sepultura di Stadion Lebak Bulus, Jakarta (1992) — tags bersama Believer dan Ecky Lamoh. (Credit: Eet Sjahranie)
Baca Juga: Kaleidoskop Musik 2025: Refleksi Dinamis Dunia Suara & Kekuatan Musik Indie
- Sempat Berakting di Film Biopik Pahlawan Nasional
Karier Ecky tidak hanya terbatas pada panggung musik. Ia juga sempat menjajal dunia perfilman dengan berakting dalam film biopik "Wage: The Science of Fictions", sebuah film yang mengangkat kisah pahlawan nasional Wage Rudolf Supratman. Keterlibatannya di dunia seni peran menunjukkan bakat ekspresifnya yang melampaui mikrofon panggung.
- Pertunjukan "Cukup Siti Nurbaya" Sebagai Penampilan Terakhir yang Memukau
Salah satu penampilan panggung terakhir Ecky yang sangat berkesan terjadi pada Konser 51 Tahun Kerajaan Cinta Ahmad Dhani pada Mei 2023. Di sana, ia mencuri perhatian dengan membawakan lagu Dewa 19, "Cukup Siti Nurbaya," dengan gaya vokal rock khasnya. Penampilan ini menjadi pengingat yang menyentuh tentang betapa tingginya kualitas vokal dan karisma panggung yang ia miliki hingga akhir hayatnya.
- Melanjutkan Studi Magister di Yogyakarta di Tahun-Tahun Akhir
Meskipun dikenal sebagai rocker veteran, Ecky Lamoh menunjukkan semangat belajar yang tak pernah padam. Ia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya di Yogyakarta, bukan hanya untuk pelayanan gereja, tetapi juga untuk melanjutkan studi Magister Pendidikan di STT KADESI. Dedikasinya pada ilmu pengetahuan dan agama, di tengah aktivitas bermusik, menegaskan bahwa ia adalah sosok yang terus bertumbuh dan berpikir.
Ecky Lamoh pergi sebagai seorang suami, ayah, pendeta, dan seorang seniman yang karyanya telah teruji waktu, menolak kata 'pupus' dalam kamus kreativitasnya. Meski ia tak lagi bisa memimpin chorus dengan vokal seraknya yang khas, energi dari album The Beast dan lagu-lagu Elpamas akan terus mengalir, menjadi sumber inspirasi bagi generasi yang haus akan rock otentik dan penuh karakter.
Kehidupannya, yang memadukan kedisiplinan seorang pemegang sabuk hitam karate dengan kerendahan hati seorang pelayan Tuhan, menjadi sebuah komposisi yang jauh lebih kaya dan bermakna daripada sekadar melodi, membuktikan bahwa seorang ikon musik bisa menanamkan nilai-nilai humanis yang tak lekang oleh zaman.

