Kaleidoskop 2025: Harga Sebuah Kebebasan & Dilema Penggemar Musik di Musim Konser

Sukabumiupdate.com
Selasa 04 Nov 2025, 10:59 WIB
Kaleidoskop 2025: Harga Sebuah Kebebasan & Dilema Penggemar Musik di Musim Konser

Di Indonesia, banyak konser artis internasional dan event skala besar masih mahal, bahkan lebih mahal dari negara tetangga seperti Singapura. Penyebabnya berbeda dari dynamic pricing ala Ticketmaster/Live Nation (Ilustrasi: Sora)

SUKABUMIUPDATE.com - 2025, Jakarta menjadi tuan rumah bagi beragam acara musik, yang paling menonjol adalah BLACKPINK World Tour: "Deadline" yang sukses besar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) pada 1 dan 2 November, dianggap sebagai salah satu konser internasional terbesar tahun ini. Selain itu, festival musik besar lainnya seperti Joyland Festival dan Jakarta Fair Music Concert, yang menampilkan musisi internasional dan lokal ternama seperti Green Day, Linkin Park, Juicy Luicy, dan Maliq & D'Essentials di berbagai venue ikonik di seluruh kota menambah daftar panjang euforia musik di tanah air.

Dari awal 2025 saja euforia yang manis sekaligus menyakitkan sudah menyelimuti para penggemarnya. Pengumuman konser berdatangan bak badai yang menjanjikan surga, namun menuntut pengorbanan finansial yang tak sedikit di era di mana uang numpul ratusan bahkan ribuan trilyunan rupiah di satu tempat. Bayangan untuk berdiri di antara lautan manusia, menyanyikan bait-bait The Scientist bersama Coldplay di Stadion Utama GBK, terasa begitu nyata dan mengharukan, sambil menikmati langit malam Jalakrta yang pasti warna-warni.

Pun demikian, nun jauh di sana di dataran dunia barat dengan mimpi liar untuk melihat Noel Gallagher sendiri, sang legenda Oasis, membawakan Wonderwall atau menyaksikan pesona showmanship murni dari Bruno Mars di venue megah. Musisi-musisi yang melukis memori, menemani perjalanan hidup sejak bangku sekolah hingga tekanan pekerjaan, kini hadir di depan mata. Mereka adalah janji kemewahan emosional yang tak ternilai harganya, sebuah bucket list yang ternyata harus dicoret, hiks...

konser Muse di Jakarta, 15 April 2007. Sebuah artefak berharga bagi para kolektor dan penggemar setia yang telah menyimpannya hingga sekarang sebagai kenang-kenangan.konser Muse di Jakarta, 15 April 2007. Sebuah artefak berharga bagi para kolektor dan penggemar setia yang telah menyimpannya hingga sekarang sebagai kenang-kenangan.

Baca Juga: Sukabumi Beach Cleaning Up 2025: Gerakan untuk Wisata Bersih dan Berkelanjutan

Drama manis itu dengan cepat bertransformasi menjadi kesedihan yang getir saat harga tiket terpampang. Angka-angka jutaan rupiah itu bukan hanya sekadar label harga, melainkan dinding pemisah yang tebal. Bagi sebagian besar penggemar musik seperti Ari, memilih antara Dua Lipa atau membayar uang sewa kosan adalah sebuah tragedi finansial yang nyata. Setiap notifikasi konser baru bukan lagi kabar gembira, melainkan pengingat pahit bahwa cinta sejati pada musik pun memiliki biaya premium. Legenda-legenda yang bernyanyi tentang kebebasan dan pemberontakan kelas kini hanya bisa diakses oleh mereka yang sudah mapan, meninggalkan ribuan penggemar setia di luar gerbang dengan hati yang pedih dan dompet yang kosong.

Gaji Bulanan dan Jutaan Rupiah

Ari, 28 tahun, bekerja sebagai copywriter junior di sebuah agensi digital kecil di bilangan Jakarta Selatan. Gajinya, seperti banyak pekerja muda lainnya, cukup untuk hidup layak: sewa kosan yang strategis, cicilan motor, biaya makan, dan sedikit untuk hiburan. Tapi "sedikit" itu jauh dari "cukup" untuk musim konser 2025.

Malam itu, notifikasi resmi muncul: The Echoes, Jakarta 2025!

Ari langsung membuka link penjualan tiket. Jemarinya bergetar saat melihat kategorinya:

  • CAT 1 (Standing): Rp 3.500.000
  • CAT 2 (Seating): Rp 2.800.000
  • CAT 3 (Seating): Rp 2.200.000
  • VIP Package (Meet & Greet): Rp 7.500.000 (disertai foto dengan band, poster bertanda tangan, dan akses lounge mewah)

Mata Ari tertuju pada angka Rp 2.200.000. Itu hampir sepertiga gajinya dalam sebulan. Angka itu langsung memicu simulasi keuangan otomatis di otaknya:

  • Bayar kosan: Rp 1.500.000
  • Cicilan motor: Rp 800.000
  • Makan & Transport: Rp 2.000.000
  • Sisanya: Rp 700.000

Jika ia membeli tiket The Echoes, ia harus memangkas habis semua "sisa" itu, bahkan mungkin sampai berutang pada teman. Belum lagi biaya transportasi ke venue, makanan di sana, atau merchandise yang pastinya akan sangat menggoda.

Menurut Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), proses perizinan di Indonesia sangat berlapis dan biayanya tinggi, termasuk adanya biaya non-resmi.Menurut Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), proses perizinan di Indonesia sangat berlapis dan biayanya tinggi, termasuk adanya biaya non-resmi (Ilustrasi: Canva).

Baca Juga: Rasio Pertumbuhan PAD Kota Sukabumi Capai 55,65 Persen per Oktober 2025

Pilihan yang Menyakitkan

Dilema Ari tidak hanya soal The Echoes. Seminggu sebelumnya, band indie favoritnya, "The Sunset Collective" (dari Bandung), mengumumkan tur kecil mereka di sebuah venue semi-outdoor di Jakarta, dengan tiket hanya Rp 250.000. Itu sangat masuk akal.

Lalu ada juga pengumuman festival musik hip-hop dengan tiket Rp 700.000, menampilkan beberapa nama besar lokal yang selalu ingin ia lihat. Pilihan-pilihan itu bagaikan kerikil-kerikil kecil yang berjatuhan, mencoba menyingkirkan gunung besar bernama The Echoes dari pikirannya.

"Apakah aku harus melewatkan The Echoes?" gumam Ari pada dirinya sendiri, menatap pantulan wajah lelahnya di layar ponsel. "Band yang sudah menemaniku 15 tahun... kesempatan sekali seumur hidup."

Tetapi, apa harga dari "sekali seumur hidup"?

Apakah harga itu adalah makan mie instan selama sebulan? Mengabaikan ajakan hangout teman-teman? Atau bahkan menunda pembayaran sesuatu yang penting? Ari tahu Noel Gallagher benar. Rock and roll sudah bukan lagi musiknya Ari. The Echoes, legenda yang seharusnya berbicara kepada jiwanya, kini berbicara dalam bahasa jutaan rupiah yang tidak ia miliki. Ia menelusuri komentar-komentar di media sosial:

"Gila, harga tiket kayak harga HP baru!"

"Mending nonton Coldplay 2 kali di luar negeri daripada The Echoes di sini."

"Cuma bisa mimpi doang, Bang. Gaji UMR nangis di pojokan."

Baca Juga: November 2025 Tandai Lonjakan Inovasi HP Signifikan, Lebih Dari Spek Era Baru Inovasi Gadget Mutakhir!

Ari merasakan solidaritas yang pahit dari komentar-komentar itu. Ia tidak sendirian. Jutaan penggemar lain di Jakarta juga menghadapi dilema yang sama: antara cinta sejati pada musik dan realita brutal isi dompet mereka. Ari akhirnya menutup aplikasi penjualan tiket. Langit Jakarta di luar jendela kosnya mulai gelap, lampu-lampu kota perlahan menyala. Ia mungkin akan melewatkan The Echoes. Mungkin ia akan puas dengan playlist mereka di Spotify, atau menonton video konser mereka dari tahun 90-an di YouTube.

Ia tahu, ada band indie lokal yang menunggunya dengan harga tiket yang tulus. Ada skena musik yang masih hidup, yang berbicara dalam bahasa yang bisa ia pahami bahasa semangat, bukan angka yang mencekik. Dilema ini bukan hanya tentang Ari. Ini tentang ribuan Ari lainnya di Jakarta, yang terpaksa memilih antara sebuah "sekali seumur hidup" yang mahal, atau sebuah "setiap hari" yang lebih realistis dan terjangkau, diiringi irama musik yang mungkin tidak selegendaris, tetapi tak kalah tulus dan dekat di hati.

Masalah tiket seharga motor di Indonesia adalah produk dari pertemuan tiga kekuatan profit Dolar global, inefisiensi birokrasi lokal, dan disparitas daya beli. Kritik Noel Gallagher valid, tetapi ia gagal melihat kompleksitas yang dihadapinya di pasar seperti Indonesia.

Satu-satunya cahaya dan etos rock yang masih tersisa adalah di skena musik lokal. Di sana, band-band indie menawarkan tiket Rp200.000, memilih untuk bernegosiasi dengan realita ekonomi penggemar mereka. Mereka membuktikan bahwa solidaritas komunitas dan semangat musik masih bisa mengalahkan tekanan Dolar.

Di Jakarta 2025, tiket seharga Smartphone baru! Harga yang harus dibayar oleh penggemar Indonesia, mungkin bukan untuk kualitas musik, melainkan untuk biaya masuk ke dalam ekonomi dan sistem hiburan global.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini