74% Pria Merokok! Indonesia Negeri Para Perokok

Sukabumiupdate.com
Kamis 06 Nov 2025, 10:02 WIB
74% Pria Merokok! Indonesia Negeri Para Perokok

Indonesia "Surga Tembakau" dengan Jumlah Prokok Terbesra Secara Global Mengapa 70 Juta Perokok Indonesia Sulit Diberhentikan (Foto: Canva)

SUKABUMIUPDATE.com - Indonesia memiliki jumlah perokok aktif (absolut) terbesar di dunia (diperkirakan 70 juta orang) dan proporsi perokok pria tertinggi (sekitar 73-74%), secara persentase total penduduk dewasa (prevalensi) yang merokok, Indonesia berada di urutan kedelapan. Negara-negara dengan prevalensi tertinggi didominasi oleh negara-negara kepulauan kecil dan wilayah Balkan, di mana persentase total penduduknya yang merokok secara keseluruhan lebih tinggi. Negara-negara ini menghadapi tantangan pengendalian tembakau yang unik, berbeda dengan Indonesia yang tantangannya terletak pada volume absolut dan dominasi merokok pada pria.

Krisis kesehatan Indonesia dimulai dari sebuah bangku sekolah. Di sudut kota atau desa, rokok bukan lagi rahasia, melainkan ritme inisiasi yang menyedihkan. Inilah potret Generasi Termuda, yang secara statistik menjadi kelompok perokok dengan kenaikan paling mengkhawatirkan anak-anak berusia 10 hingga 19 tahun. Di balik rimbunnya pepohonan dekat sekolah, Budi yang baru berusia 12 tahun berbagi sebatang rokok dengan teman-temannya. Mereka patungan masing-masing Rp2.000 untuk membeli dua batang dari warung. Asap pertama Budi bukan karena keinginan, melainkan tekanan sosial sebuah penanda bahwa ia "sudah besar."

Inilah kegagalan struktural yang nyata! Rokok dijual eceran, memudahkan anak-anak dengan uang saku minimal mengakses zat adiktif. Regulasi yang seharusnya melindungi anak kalah telak oleh infrastruktur warung yang menyediakan produk per batang di setiap sudut negeri. Budi dan jutaan anak lain adalah "stok tetap" yang menjamin Indonesia tetap menjadi surga bagi industri tembakau selama puluhan tahun ke depan, siap membebani sistem JKN dengan penyakit-penyakit kronis pada usia produktif mereka.

Warisan maskulinitas melalui asap tembakauWarisan maskulinitas melalui asap tembakau, menjadikan rokok jadi kebiasaan genersai berikutnya (Foto:Canva)

Siklus Budaya dan Maskulinitas Asap

Dari remaja, kita beralih ke Generasi Bapak-bapak, inti dari krisis ini. Indonesia memegang rekor yang mencengangkan: 73-74% pria dewasa merokok proporsi tertinggi di dunia. Ini bukan sekadar kebiasaan; ini adalah Gaya Hidup yang dilegitimasi oleh budaya.

Di gudang, kantor kecil, atau di sawah, rokok adalah alat produktivitas. Pak Joni (45), seorang supervisor pabrik di Jawa Barat, selalu mengambil "jeda rokok." Rokok baginya adalah pemecah stres, pendorong ide, dan alat komunikasi. Fakta kerasnya, di Indonesia, rokok telah disamakan dengan citra pria yang bekerja keras, jantan, dan serius. Budaya ini membuat pria non-perokok sering dicap "kurang gaul" atau "tidak jantan," menciptakan sebuah jebakan budaya yang sulit ditembus. Tragisnya, istri dan anak-anak Pak Joni menjadi korban pasif yang tidak punya pilihan. Mereka terpapar asap di dalam rumah, menanggung risiko yang tidak pernah mereka pilih. Ini adalah biaya humaniora dari "gaya hidup" yang didominasi pria, diperparah oleh penegakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang masih lemah.

Perbandingan jumlah perokok di Indonesia dengan negara lainPerbandingan jumlah perokok di Indonesia dengan negara lain (Design: Canva)

 

Beban Ekonomi dan Warisan Penyakit

Kita tiba pada Generasi Lanjut Usia, yang menanggung konsekuensi adiksi yang dimulai puluhan tahun lalu. Inilah biaya sesungguhnya. Di ruang tunggu Poliklinik Jantung sebuah rumah sakit di Lampung, provinsi dengan prevalensi perokok tertinggi di Indonesia (33,84%), seorang bapak tua duduk di kursi roda, menderita PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis)

Biaya pengobatan penyakit-penyakit akibat tembakau, mulai dari PPOK, stroke, hingga serangan jantung, menguras kas JKN secara masif. Kerugian ekonomi akibat merokok di Indonesia mencapai puluhan triliun rupiah, jauh melebihi penerimaan negara dari cukai rokok itu sendiri. Narasi ini bukan hanya tentang adiksi individu ini tentang warisan adiksi yang diturunkan dari bapak kepada anak, yang didukung oleh sistem yang mengutamakan penerimaan cukai daripada paru-paru warga negara.

Secara global, Indonesia termasuk negara dengan jumlah perokok aktif terbesar ($70$ juta orang) setelah Tiongkok dan India, namun yang paling mengerikan adalah prevalensi perokok pria dewasanya yang menduduki peringkat tertinggi di dunia (sekitar 72%). Di tingkat domestik, prevalensi perokok bervariasi signifikan Lampung memimpin dengan angka tertinggi, sementara Bali berada di ujung terendah. Namun, tren yang sama-sama mengkhawatirkan adalah peningkatan drastis perokok di kelompok usia 10-19 tahun, menuntut pengetatan regulasi.

Pemerintah sudah memiliki kerangka pengendalian (MPOWER, cukai, KTR), tetapi implementasi dan penegakan hukumnya lemah, diperparah oleh dilema ekonomi dan belum diratifikasinya FCTC WHO. Indonesia tidak akan bisa memecahkan krisis ini selama rokok masih bisa dibeli dengan harga yang sama dengan permen yakni, eceran per batang. Selama itu pula Budi dan jutaan anak lain akan menjadi korban pertama.

Fakta-fakta keras ini menegaskan bahwa masalah merokok di Indonesia adalah krisis kesehatan terstruktur, bukan sekadar pilihan pribadi. Di satu sisi, ada data 70 juta perokok aktif, didominasi oleh pria (sekitar 74%) yang menjadikan rokok sebagai simbol maskulinitas, jembatan sosial, dan pereda stres harian. Di sisi lain, ada harga rokok yang sangat terjangkau karena dijual batangan sebuah kebijakan ekonomi yang secara efektif mengundang anak usia 10 tahun untuk memulai adiksi. Habit merokok yang mengakar kuat di warung kopi dan tempat kerja ini didukung oleh regulasi yang lembut, Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang tidak bertaring, dan penegakan hukum yang nyaris absen, terutama di provinsi dengan prevalensi tinggi seperti Lampung dan Jawa Barat. Siklus ini menciptakan beban ganda: kerugian nyawa dan beban ekonomi triliunan rupiah pada sistem JKN.

Untuk memutus siklus ini, narasi budaya harus diubah melalui intervensi kebijakan yang radikal. Selama rokok masih lebih mudah diakses daripada buku atau makanan bergizi bagi anak-anak, selama itu pula Indonesia akan terus menjadi 'surga' tembakau global. Mengakhiri penjualan rokok per batang, menaikkan cukai secara signifikan hingga rokok menjadi barang mahal, dan menerapkan KTR secara ketat adalah satu-satunya cara untuk mengubah life style berasap ini. Ini adalah panggilan bagi negara untuk memilih antara menjaga penerimaan cukai jangka pendek atau melindungi paru-paru dan masa depan ratusan juta warganya.

(Data berbagai sumber)

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini