SUKABUMIUPDATE.com – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengonfirmasi sedang memproses pembatalan sejumlah besar Sertifikat Hak Milik (SHM) yang tumpang tindih dengan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau. Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, menyebutkan bahwa dari total sekitar 1.800 sertifikat yang terbit di kawasan tersebut, sekitar 1.040 SHM sedang dalam proses atau sudah dibatalkan.
Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Riau, merupakan sebuah lanskap dataran rendah yang mestinya menjadi salah satu benteng terakhir ekosistem tropis Sumatera, kini menjadi simbol tragis dari konflik agraria, keserakahan, dan kegagalan konservasi. Ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tahun 2004 dengan perluasan di tahun 2009, kawasan seluas 81.793 hektare ini dikenal memiliki keanekaragaman hayati terkaya di dunia, menjadi rumah bagi ratusan jenis flora dan fauna, termasuk ikonik Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang terancam punah. Namun, benteng terakhir ini tengah runtuh, membawa konsekuensi serius yang tidak hanya dirasakan oleh satwa liar, tetapi juga jutaan manusia di sekitarnya.
Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) tengah melakukan reforestasi atau pemulihan kembali kawasan hutan Taman Nasional (TN) Tesso Nilo di Riau, pasca mengalami penurunan fungsi akibat perambahan hutan secara ilegal. Dalam upaya pemulihan kembali, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) akan mengevaluasi Sertipikat Hak Milik (SHM) yang terindikasi berada dalam kawasan taman nasional tersebut. “Dari total 1.758 SHM, sebagian sudah kita batalkan, terutama yang memang mungkin tumpang tindih dengan kawasan hutan. Tapi yang menjadi masalah hambatannya memang sebagian itu ada SHM yang tahun 1999 sampai tahun 2006, itu ada Surat Keputusan (SK) Reforma Agraria dari bupati setempat,” ujar Menteri ATR/Kepala BPN, Nusron Wahid dalam kegiatan Penyerahan Penguasaan Kembali Kawasan Hutan Tahap II Seluas 1 Juta Hektare, dan Penguasaan TN Tesso Nilo serta Kebun Kelapa Sawit Hasil Penguasaan Satgas PKH, seperti dilansir dari lamam atrbpn.go.id.
Laju kerusakan di TNTN telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Data menunjukkan, dari total luas kawasan, kini hanya tersisa sekitar 12.561 hektare atau kurang dari 16% saja yang masih berfungsi secara alami sebagai hutan. Sisanya, telah dikonversi secara masif menjadi perkebunan sawit ilegal dan, ironisnya, perkebunan Akasia (Acacia mangium) yang dikelola oleh konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI).
Baca Juga: Akhirnya Plastik Tahu Kapan Harus 'Mati' dengan Menghancurkan Dirinya Sendiri.
Tim ekpsdisi TNTN 2016 melihat langsung Kerusakan hutan di Tesso Nilo yang memiliki dampak bencana yang melampaui batas-batas taman nasional.
Invasi perkebunan Akasia dan sawit ini merupakan masalah ganda. Pertama, Akasia yang ditanam untuk bahan baku industri kertas, membentuk ekosistem monokultur yang secara drastis mengurangi keanekaragaman hayati. Pohon cepat tumbuh ini menciptakan kanopi yang rapat dan mengurangi cahaya matahari ke lantai hutan, mematikan tumbuhan pakan alami yang dibutuhkan oleh satwa herbivora. Kedua, konversi menjadi sawit dan HTI dilakukan melalui perambahan ilegal, seringkali disertai dengan pembukaan lahan menggunakan api. Aktivitas inilah yang menjadi sumber utama masalah lingkungan di Riau.
Hal tersebut sirisan dengan temuan Tim Ekspedisi Tesso Nilo yang dilepas pada Februari 2016 silam dengan melibatkan 13 orang dari Balai TNTN, WWF Riau, TNI, perwakilan masyarakat, dan Green Radio, bertujuan menelusuri hutan konservasi bagian barat sejauh 25 km. Temuan tim di lapangan menegaskan bahwa laju perambahan hutan telah mencapai tingkat yang sangat parah dan terstruktur, bukan lagi sekadar kegiatan sporadis. Tim mengidentifikasi lokasi-lokasi yang telah dibuka secara ilegal, seringkali diubah menjadi hamparan perkebunan sawit yang luas, yang ironisnya berlokasi di dalam kawasan inti yang seharusnya steril. Bahkan, laporan yang menyedihkan dari tim ekspedisi menyebutkan penemuan bangkai seekor Gajah Sumatera betina remaja pada hari keempat perjalanan, yang diduga sakit dan ditinggalkan kelompoknya, menandakan tekanan habitat yang ekstrem dan peningkatan konflik yang fatal bagi populasi satwa kunci ini. Penemuan ini memperkuat data resmi saat itu yang menunjukkan angka kematian gajah terus meningkat akibat peracunan dan penyempitan ruang jelajah.
Temuan Tim Ekspedisi 2016 tersebut bukan hanya sekadar laporan kerusakan, tetapi menjadi penanda kritis bahwa upaya penguasaan teritorial dan perlindungan biodiversitas telah gagal menahan laju ekspansi monokultur. Ekspedisi ini menjadi langkah awal untuk memetakan kondisi terbaru hutan yang tersisa, mengidentifikasi lokasi strategis untuk pos jaga kontemporer, dan memantau pergerakan satwa liar seperti gajah, harimau, dan tapir. Lebih dari itu, hasil ekspedisi mendorong perlunya pendekatan yang lebih humanis dan partisipatif, serta menuntut adanya penegakan hukum yang tidak hanya menyasar perambah kecil, namun juga para pemodal besar di balik perambahan terorganisir yang mengeksploitasi kawasan konservasi. Kegigihan tim di tengah kesulitan sinyal dan medan, melahirkan kesadaran informasi bahwa hutan Tesso Nilo yang tersisa perlu dikawal ketat untuk mencegah pengurangan lebih lanjut dan memberikan pemahaman kepada publik mengenai urgensi penyelamatan kawasan yang krusial ini.
Baca Juga: Hujan Ekstrem Picu Banjir dan Longsor di 7 Titik Kota Sukabumi, Satu Rumah Rusak
Populasi gajah liar di TNTN dikabarkan telah merosot, bahkan memicu konflik manusia-gajah yang intensif, di mana kawanan gajah yang kelaparan terpaksa memasuki perkebunan dan permukiman warga (credit Foto: Susilo Imbo)
Gajah Sumatera di Ujung Tanduk Habitat yang Menyusut
Korban paling nyata dari kerusakan ini adalah Gajah Sumatera. TNTN merupakan salah satu kantong populasi gajah terbesar yang tersisa di pulau itu. Sayangnya, habitat yang berfungsi untuk koridor jelajah dan tempat mencari makan mereka menyempit drastis. Populasi gajah liar di TNTN dikabarkan telah merosot, bahkan memicu konflik manusia-gajah yang intensif, di mana kawanan gajah yang kelaparan terpaksa memasuki perkebunan dan permukiman warga untuk mencari makan, yang berakhir tragis dengan kematian gajah akibat diracun atau diburu.
Kebutuhan ruang seekor gajah sangat besar. Ketika $80\%$ lebih rumah mereka berubah menjadi kebun sawit atau tegakan Akasia, konflik tidak terhindarkan. Hilangnya hutan bukan hanya menghilangkan pakan, tetapi juga siklus alam yang didukung oleh gajah; kotoran gajah, misalnya, berperan vital sebagai penyebar benih alami yang membantu regenerasi hutan, sebuah peran yang tak tergantikan.
Asap dan Banjir Bumerang Ekologis
Kerusakan hutan di Tesso Nilo memiliki dampak bencana yang melampaui batas-batas taman nasional. Konversi hutan dataran rendah yang masif menjadi lahan monokultur menghilangkan fungsi hutan sebagai paru-paru dan catchment area (daerah tangkapan air).
- Asap: Pembakaran lahan gambut dan hutan yang disengaja untuk membuka area perkebunan, terutama sawit ilegal, menjadi pemicu utama bencana asap tahunan yang melumpuhkan Riau dan negara tetangga. Kabut asap ini adalah ancaman kesehatan publik dan kerugian ekonomi yang masif.
- Banjir: Hutan TNTN adalah hulu bagi beberapa sungai besar. Ketika hutan hujan yang berfungsi sebagai spons alami penghisap dan penahan air hujan hilang, risiko bencana banjir bandang dan longsor meningkat tajam. Hilangnya tutupan hutan TNTN secara langsung mengurangi daya dukung lingkungan untuk mencegah musibah banjir yang merenggut nyawa dan harta benda masyarakat.
Pembatalan 1.040 Sertifikat Lahan TNTN
Menanggapi carut-marut ini, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah mengonfirmasi sedang memproses pembatalan sejumlah besar Sertifikat Hak Milik (SHM) yang tumpang tindih dengan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau. Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, menyebutkan bahwa dari total sekitar 1.800 sertifikat yang terbit di kawasan tersebut, sekitar $1.040$ SHM sedang dalam proses atau sudah dibatalkan.
Baca Juga: Cuaca Jabar 4 Desember 2025, Sukabumi Waspada Hujan Lebat Disertai Petir
Pembatalan ini dilakukan karena sertifikat-sertifikat tersebut terbukti terbit di dalam area konservasi yang statusnya adalah Hutan Nasional Tesso Nilo, yang seharusnya dilindungi. Alasan utamanya adalah adanya tumpang tindih status lahan, yang menurut Menteri ATR/BPN, terjadi akibat adanya kelalaian dalam proses penerbitannya di masa lalu, terutama yang terbit antara tahun 1999 hingga 2006.
Pembatalan sertifikat ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menertibkan kawasan konservasi, mengembalikan fungsi hutan sebagai habitat satwa, khususnya gajah sumatera, dan mengatasi perambahan lahan ilegal yang sering kali diubah menjadi perkebunan sawit.
Keputusan tegas untuk membatalkan sertifikat ilegal ini merupakan langkah krusial dalam upaya penyelamatan TNTN.(ilustrasi hutan:Canva)
Menuju Keadilan Ekologis
Kekerasan ekologis terhadap Tesso Nilo menemukan puncaknya dalam bencana hidrologi yang melanda Riau dan Sumatera di penghujung tahun 2025. Alih fungsi besar-besaran 80% lebih hutan Tesso Nilo, dari paru-paru dan catchment area alami menjadi lahan monokultur sawit dan Akasia, telah melumpuhkan fungsi penahan air kawasan tersebut. Musim penghujan ekstrem di akhir tahun 2025, yang merupakan fenomena siklus alam, berubah menjadi malapetaka dahsyat akibat hilangnya jutaan akar penopang dan lapisan gambut yang berfungsi sebagai spons raksasa di kawasan hulu.
Konsekuensinya, air hujan tidak tertahan, mempercepat limpasan permukaan, yang kemudian memicu serangkaian banjir bandang dan longsor yang tidak hanya mengancam permukiman di sepanjang sungai, tetapi juga mengganggu infrastruktur vital dan merenggut korban jiwa. Bencana ini menjadi penanda kritis bahwa kegagalan konservasi di masa lalu, termasuk kelalaian penerbitan ribuan sertifikat lahan ilegal yang kini dibatalkan oleh ATR/BPN, secara langsung berkontribusi pada kerentanan ekologis dan penderitaan humanis yang tak terhindarkan saat ini.
Keputusan tegas untuk membatalkan sertifikat ilegal ini merupakan langkah krusial dalam upaya penyelamatan TNTN. Namun, solusi komprehensif harus melibatkan tiga pilar: penegakan hukum yang tegas terhadap pemodal besar dan korporasi di balik perambahan, restorasi ekosistem skala besar dengan penanaman kembali vegetasi asli, dan penyelesaian konflik agraria secara humanis, yang memastikan kesejahteraan masyarakat lokal tanpa mengorbankan fungsi konservasi hutan. TNTN bukan hanya tentang gajah, melainkan juga tentang kualitas udara, ketersediaan air, dan keselamatan hidup manusia.



