SUKABUMIUPDATE.com - Pada awal dekade 1990-an, kancah musik rock Indonesia tengah mendambakan pahlawan baru. Saat itu, musik cadas memang memiliki basis penggemar yang loyal, namun pasar haus akan sebuah karya yang bukan hanya garang, tetapi juga memiliki kualitas produksi dan musikalitas yang mampu berdiri sejajar dengan band-band internasional. Jawaban atas dahaga keinginan itu datang pada tahun 1992, berwujud album debut yang segera menjadi legenda "The Beast" dari Edane.
Album ini adalah sebuah statement vokal yang murni, lahir dari visi dua punggawa utamanya, Eet Sjahranie dan Ecky Lamoh. Eet, sang maestro gitar, sudah dikenal dengan kemampuan shredding yang memukau dan tone gitar yang tebal, sering disandingkan dengan virtuoso sekelas Eddie Van Halen. Sementara Ecky Lamoh, dengan karakter vokalnya yang serak, agresif, namun tetap memiliki resonansi emosional, memberikan nyawa cadas yang autentik.
Kesuksesan "The Beast" di pasar bukanlah sekadar keberuntungan, melainkan hasil dari perhitungan yang matang dan timing yang tepat. Pada saat itu, banyak band rock yang cenderung bermain aman, tetapi Edane berani menyajikan Hard Rock dan Heavy Metal yang tidak berkompromi, namun dikemas dengan produksi yang mahal dan rapi.
Baca Juga: Padi Reborn Kukuhkan Lagi Identitas Musikalitas Lewat Ego Simfoni Cinta yang Menang Atas Amarah
Album ini seolah menjadi antitesis yang dibutuhkan generasi muda. Ia menawarkan pelarian dan energi dari rutinitas. Lagu-lagu seperti “Ikuti” dan “The Beast” segera menjadi anthem. Secara khusus, "Ikuti" adalah lokomotif yang melesatkan Edane ke puncak. Riff pembuka yang ikonik, transisi dinamika yang meledak antara verse dan chorus, ditambah dengan lirik yang berbicara tentang keberanian dan solidaritas jiwa cadas, membuatnya segera menjadi lagu wajib yang didengungkan di setiap sudut kota.
"Mari sini ikuti aku! Nyanyikan lagu-lagu yang berani, Birakan lengkingan jiwaku menjadi teman suara batinmu, Kau dan aku anak sang malam api kekuatan masa mendatang, kau dan akua nak Mentari, api kehidupan dunia baru"
Lirik ini bukan sekadar kalimat, melainkan sebuah seruan agar pendengar berani mengekspresikan diri dan melawan kepahitan dengan nada tinggi. Kehadiran Edane di panggung global semakin terkonfirmasi ketika mereka didapuk menjadi band pembuka untuk raksasa death metal Sepultura di Jakarta pada tahun yang sama. Sebuah validasi instan yang menempatkan mereka di peta rock dunia, setidaknya di mata para headbangers domestik.
Edane, Band yang sering gonta-ganti vokalis dengan formasi masa kini dalam sebuah gelaran Rock (Credit Foto: Eet Sjahranie)
Salah satu aspek menarik dari album debut Edane, "The Beast" (1992), adalah keberanian band ini untuk tidak sepenuhnya mengandalkan Bahasa Indonesia. Sejumlah lagu penting dalam tracklist album ini, termasuk lagu instrumental ikonik yang hanya berdurasi 1 menit 37 detik dan lagu yang sepenuhnya berbahasa Inggris seperti “You Don't Have To Tell Me Lies”.
Keputusan ini menunjukkan ambisi Eet Sjahranie dan rekan-rekan untuk menempatkan Edane dalam spektrum musik hard rock global. Mereka ingin sound mereka dinilai setara dengan band-band Heavy Metal dan Glam Rock dari Barat, sebuah langkah strategis yang menggarisbawahi kualitas produksi dan teknis band yang memang sudah sangat mumpuni. Pilihan bahasa ini juga memperkuat citra Edane sebagai band yang visioner dan berani mendobrak tradisi pasar musik lokal yang saat itu didominasi lirik berbahasa Indonesia.
Baca Juga: Kaleidoskop Musik 2025: Refleksi Dinamis Dunia Suara & Kekuatan Musik Indie
Penggunaan lirik dwi-bahasa ini baik Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia pada lagu populer seperti “Ikuti” yang merupakan komposisi campuran menghadirkan kontras dinamis yang justru memperkaya karakter album The Beast. Ketika lagu seperti "Masihkah Ada Senyum" menggunakan Bahasa Indonesia untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan solidaritas yang lebih dekat di hati pendengar lokal, lagu lain menggunakan Bahasa Inggris untuk mengeksplorasi tema-tema yang lebih universal atau abstrak.
Keberanian Edane untuk tidak membatasi diri pada Bahasa Indonesia adalah bukti nyata dari visi Eet Sjahranie untuk menciptakan musik yang mampu bersaing di panggung internasional. Keputusan ini didukung oleh fakta bahwa album ini memiliki beberapa amunisi lirik berbahasa Inggris yang kuat, seperti “You Don’t Have to Tell Me Lies” dan “Life Piece of Advice” (bukan sekadar "Life").
Penggunaan bahasa lingua franca musik rock ini bukan sekadar gaya, melainkan penegasan kualitas. Edane seolah berkata, “Kami tidak hanya bisa membuat musik cadas dengan standar global, tapi kami juga bisa bernyanyi dalam bahasa mereka.” Hal ini memberikan identitas unik di pasar musik Indonesia, di mana band rock yang berani merilis lagu sepenuhnya berbahasa Inggris dan berhasil menjadi hits besar masih jarang. Penempatan lagu-lagu ini di tracklist album "The Beast" menunjukkan kepercayaan diri Edane pada materi mereka yang mampu melintasi batas bahasa, sebuah langkah strategis yang berkontribusi besar pada citra profesional, berintegritas, dan berwawasan global yang melekat pada Edane sejak debutnya.
Baca Juga: Kaleidoskop Musik 2025: Konser Musik Global di Indonesia Pusat Gravitasi Musik Dunia
Kontras ini berhasil menarik dua segmen pendengar penggemar musik cadas yang menghargai integritas sound metal internasional, sekaligus menjangkau pendengar yang mencari anthem dengan resonansi lirik yang kuat dalam bahasa ibu. Perpaduan ini menegaskan bahwa Edane tidak hanya bermain musik Hard Rock dengan teknik Barat, tetapi juga menanamkan jiwa lokal, menjadikannya formula sukses yang terbukti laris di pasaran.
"The Beast" lebih dari sekadar album terlaris di masanya, penentu standar baru dalam industri musik rock Indonesia. Kualitas musikalitas dan integritas artistik yang dibawa Eet Sjahranie dan rekan-rekan membuat band-band rock setelahnya mau tidak mau harus meningkatkan level mereka. Album ini membuktikan bahwa musik cadas yang teknikal dan berintegritas tinggi bisa diterima luas oleh publik. Ia adalah cetak biru tentang bagaimana sound gitar yang eksplosif, vokal yang penuh energi, dan komposisi yang kompleks dapat bersatu padu menciptakan sebuah karya yang abadi.“The Beast” adalah kisah tentang sebuah debut yang berhasil memicu evolusi, menetapkan benchmark baru untuk sound cadas di tanah air. Album ini adalah monumen pengingat bahwa musik rock sejati selalu menemukan jalannya untuk menembus pasar dan membebaskan jiwa-jiwa yang haus akan ekspresi autentik.
Puncak karier Ecky terjadi saat ia bergabung dengan Edane pada 1991. Edane, dibentuk oleh Eet Sjahranie, adalah band rock Jakarta yang sedang naik daun di era keemasan musik rock Indonesia. (credit Foto: Eet Sjahranie)
Meskipun Edane dikenal sebagai kendaraan utama virtuoso gitar Eet Sjahranie, elemen vokal yang meledakkan popularitas “Ikuti” justru tercetus dari spontanitas dan naluri Ecky Lamoh. Berdasarkan lirik yang ditulis oleh Tontowy dan dirinya sendiri, melodi vokal yang kini kita kenal terutama di bagian verse dan melodi utamanya lahir begitu saja dari mulut Lamoh.
Baca Juga: Padi Reborn Kukuhkan Lagi Identitas Musikalitas Lewat Ego Simfoni Cinta yang Menang Atas Amarah
Hal tersebut membuktikan bahwa Ecky bukan sekadar penyanyi dengan power vokal serak yang hebat, tetapi juga seorang pencipta melodi yang intuitif dan brilian. Melodinya menangkap secara sempurna nuansa lirik tentang seruan keberanian dan kekuatan batin, memberikan lagu ini kedalaman emosional dan daya tarik anthemic yang universal. Kontribusi Lamoh ini adalah fondasi humanis dari “Ikuti”, mengubahnya dari sekadar komposisi hard rock yang hebat menjadi lagu wajib yang resonan di hati para penikmat musik Indonesia.
Menariknya, meskipun melodi vokal utama datang dari Ecky Lamoh, struktur musik inti “Ikuti” menunjukkan kolaborasi yang indah dan efektif, terutama dengan bassist Iwan Xaverius. Intro gitar yang menghentak dan riff yang menjadi ciri khas refrain lagu yang sangat mudah diingat tersebut adalah kontribusi musikal dari Iwan.
Kreativitas Iwan dalam menciptakan hook gitar yang kuat di awal lagu berhasil menyiapkan panggung untuk ledakan vokal Lamoh. Perpaduan antara riff yang diciptakan Iwan dan melodi vokal spontan dari Ecky menciptakan sinergi yang sempurna. Sinergi inilah yang menjadikan “Ikuti” tidak hanya sukses secara musikalitas dan Teknik yang juga diperkaya oleh solo gitar Eet Sjahranie tetapi juga berhasil menancap kuat di pasar sebagai lagu yang mudah diakses dan dinyanyikan, sebuah formula yang terbukti tak lekang oleh waktu.

