SUKABUMIUPDATE.com - Mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Sukabumi, Deden Achadiyat, berencana melayangkan gugatan atas dugaan adanya mafia tanah dalam proyek Masjid Raya Al-Jabbar. Gugatan perdata akan dilayangkan melalui pengadilan dengan salah satu tergugatnya adalah Gubernur Jawa Barat.
"Saya juga akan menggugatnya ke pengadilan dalam hal perdata atau perbuatan melanggar hukum, dan tergugatnya, salah satunya adalah gubernur. Karena yang dibayar oleh pemprov itu adalah perjanjian yang diubah di bawah tangan yang dilakukan atas kuasa yang diberikan bukan untuk menjual tanah itu, berarti kan ini ilegal atau cacat hukum," kata Deden kepada sukabumiupdate.com belum lama ini.
Adanya dugaan praktik percaloan pada proyek Masjid Raya Al-Jabbar ini sebelumnya juga sudah dilaporkan ke Polrestabes Bandung. Selain gugatan perdata, dalam waktu dekat Deden juga akan melapor ke Polda Jawa Barat.
"Sebelumnya pernah melaporkan ke Polrestabes Bandung tentang perubahan perjanjian jual beli di bawah tangan yang ditandatangani oleh kuasa Y dari saya kepada Hj M. Surat kuasa itu betul dari saya, namun bukan untuk mengubah akta notaris tahun 2016, tapi untuk mengurus tanah adat itu,” katanya.
Deden Achadiyat saat diwawancarai soal dugaan mafia tanah di balik pembangunan Masjid Raya Al-Jabbar. Deden adalah warga Sukabumi sekaligus mantan Sekda Kabupaten Sukabumi periode 2015-2020. | Foto: SU/Asep Awaludin
Dugaan Mafia Tanah
Deden Achadiyat merasa ada yang tidak beres dengan pengadaan tanah untuk proyek Masjid Raya Al-Jabbar pada 2016 lalu. Deden memiliki tanah dengan luasan sekira 3 hektare di lokasi pembangunan Masjid Raya Al-Jabbar.
Bidang tanah itu terbagi menjadi dua bagian yang salah satunya sudah bersertifikat atas nama Deden Achadiyat dengan luas 19.670 meter persegi. Satu bidang lainnya masih berstatus tanah adat seluas 8.893 meter. Kedua bidang tanah adalah warisan orang tua yang belum sempat dibagikan untuk delapan ahli waris.
Dugaan praktik percaloan atau mafia terjadi ketika seseorang berinisial Hj M berniat membeli 3 hektare tanahnya seharga Rp 1,5 juta per meter persegi. Ini terjadi sebelum adanya informasi pembangunan Masjid Raya Al-Jabbar. Transaksi pun disepakati dengan cara pembayaran berangsur atau tiga kali bayar dengan total Rp 42 miliar.
Proses transaksi dengan Hj M dilakukan adik Deden yang disebut meminjam semua berkas tanah kepada Deden dengan niat akan menjual sebagian tanah waris miliknya. “Proses transaksi itu dibayar bertahap sebanyak tiga kali, terakhir 29 Juli 2016, dan ternyata tidak dibayar lunas kewajibannya oleh Hj M. Dia baru membayar uang muka Rp 2 miliar serta angsuran pertama Rp 8 miliar. Jadi saat itu baru dibayar Rp 10 miliar dari total Rp 42 miliar,” kata dia.
Seiring berjalannya waktu, pengadaan tanah untuk Masjid Raya Al-Jabbar terus berjalan hingga ketua pelaksana pengadaan tanah yakni Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jawa Barat memanggil sekurangnya 35 orang pemilik tanah di area tersebut untuk bertransaksi pada 28 November 2016.
Namun saat itu, Deden yang masih menjadi pemilikn sah atas tanahnya tidak dipanggil. Deden menyebut, pelaksana pengadaan tanah malah memanggil Hj M yang saat itu masih dalam proses transaksi jual beli dengannya.
"Saat itu belum lunas, otomatis tanah juga masih atas nama saya, bukan Hj M. Tapi BPN dalam hal ini mengundang Hj M untuk proses transaksi pembelian atau pembebasan tanah untuk pembangunan Masjid Raya Al-Jabbar itu,” ujarnya.
Hj M, kata Deden, baru melunasi kewajibannya dengan uang keuntungan dari hasil penjualan tanah milik Deden kepada Pemprov Jabar. Masih kata Deden, tanah yang saat itu masih menjadi miliknya dibeli senilai Rp77 miliar kepada Hj M.
“Menurut saya, Hj M diduga berperan sebagai calo tanah, karena dia membeli sebidang tanah milik keluarga saya dengan nominal sekian dengan cara dicicil selama tiga kali yang dilunasi menggunakan uang dari hasil penjualan tanah tersebut seharga Rp 77 miliar,” ungkap dia.
Atas dasar ini, Deden juga menduga adanya manipulasi data dalam proses jual beli tanah untuk masjid tersebut. Deden menegaskan proses transaksi itu juga tidak sejalan dengan PP RI Nomor 71 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah.
“Berdasarkan PPRI Nomor 71 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah, itu yang bisa mengalihkan hak atas tanah adalah akta jual beli dan dalam hal ini saya belum membuat akta jual beli,” jelas Deden.