SUKABUMIUPDATE.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menginformasikan bahwa adanya dinamika atmosfer yang tidak biasa menjadi penyebab keterlambatan datangnya musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia.
Kondisi ini juga memicu peningkatan potensi terjadinya cuaca ekstrem dalam beberapa pekan terakhir. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menjelaskan bahwa hingga penghujung Juni 2025, baru sekitar 30 persen wilayah Zona Musim yang mulai beralih ke musim kemarau.
“Padahal secara klimatologis, pada waktu yang sama, biasanya sekitar 64 persen wilayah Indonesia sudah memasuki musim kemarau,” ungkap Dwikorita dikutip dari keterangan.
Baca Juga: Prakiraan Cuaca Jawa Barat 9 Juli 2025, Pagi Hari Potensi Berawan dan Cerah Berawan
Dwikorita menerangkan bahwa kemunduran musim kemarau tahun ini dipengaruhi oleh lemahnya Monsun Australia serta suhu permukaan laut yang tinggi di wilayah selatan Indonesia.
Kedua hal ini menyebabkan kelembapan udara tetap tinggi, sehingga awan hujan masih sering terbentuk, meskipun seharusnya sudah memasuki periode kering.
Kondisi tersebut makin diperparah oleh berbagai fenomena atmosfer lain, seperti aktifnya Madden-Julian Oscillation (MJO) dan gelombang ekuator (Kelvin dan Rossby Equator), yang mendukung terbentuknya awan konvektif dan meningkatkan potensi hujan lebat.
“Kendati ENSO dan IOD berada dalam fase netral dan diperkirakan akan tetap netral hingga akhir tahun, curah hujan di atas normal masih terus terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia sejak Mei dan diperkirakan berlangsung hingga Oktober 2025,” paparnya.
Dwikorita menambahkan, kondisi ini telah berdampak nyata berupa hujan ekstrem di berbagai daerah, terutama pada tanggal 5 dan 6 Juli lalu.
Hujan dengan intensitas lebih dari 100 mm per hari tercatat terjadi di beberapa wilayah, seperti Bogor, Mataram, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, serta wilayah Jabodetabek. Kondisi ini memicu banjir, longsor, pohon tumbang, hingga mengganggu aktivitas masyarakat.
Dwikorita juga menyampaikan bahwa BMKG rutin mengeluarkan peringatan dini cuaca mingguan, yang diperbarui secara berkala setiap 3 hingga 6 jam menjelang terjadinya cuaca ekstrem. Informasi ini disebarkan melalui aplikasi InfoBMKG, media sosial, WhatsApp Group, dan berbagai jalur komunikasi lain. BMKG terus melakukan koordinasi dengan BNPB, BPBD, operator transportasi, serta instansi teknis lainnya untuk memitigasi potensi risiko lebih lanjut.
Fenomena cuaca ekstrem yang terus berlanjut, ujar Dwikorita, menandakan bahwa dinamika atmosfer masih sangat aktif meski Indonesia seharusnya telah memasuki musim kemarau. Berdasarkan analisis terbaru, wilayah yang berpeluang diguyur hujan lebat dalam sepekan mendatang meliputi Jawa bagian barat dan tengah (termasuk Jabodetabek), Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Maluku bagian tengah, dan wilayah tengah serta utara Papua.
“Potensi hujan ini diperkirakan akan bergeser ke wilayah tengah dan timur Indonesia pada periode 10 hingga 12 Juli 2025,” imbuhnya.
BMKG mengingatkan masyarakat agar selalu memantau perkembangan informasi cuaca terkini dan memperhatikan peringatan dini guna mengurangi risiko dampak bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, pohon tumbang, dan gangguan transportasi.
“Kami mengajak seluruh masyarakat dan pemangku kepentingan untuk tidak lengah dan selalu waspada terhadap perkembangan cuaca, karena dinamika atmosfer yang terjadi saat ini masih cukup kompleks,” tutup Dwikorita.