Cerita Keberadaan Jalur Kereta Api di Ujunggenteng Sukabumi

Rabu 14 Juni 2023, 15:48 WIB

Keberadaan jalur kereta api yang mengangkut produk olahan pertanian di jaman Belanda menjadi cerita turun temurun masyarakat di daerah Ujunggenteng, Kabupaten Sukabumi. Di daerah itu, tak sedikit juga bangunan-bangunan yang terkait dengan aktivitas kereta api kala itu.

Keberadaan jalur kereta api kecil itu seperti berdasarkan peta tahun 1934 yang diperoleh dari Soekaboemi Heritages, tampak jalur kereta api menuju dermaga Oedjoenggenteng (Ujunggenteng). Ini merupakan jalur kereta api kecil/lori/tramway (smalspoor) yang disebut Decauville, sesuai nama produsennya.

Perusahaan yang didirikan Paul Decauville itu mensuplai keperluan transportasi berjenis kereta api kecil di beberapa tempat di Jawa dan Sumatera. Termasuk pabrik gula dan perkebunan tebu serta perkebunan singkong, kelapa, dan karet, di Ujunggenteng dan sebagian produsen garam.

Produk Decauville sudah dilirik sejak 1881, terutama untuk pembangunan rel di Pamanukan dan Ciasemlanden sepanjang 30 kilometer. Diproyeksikan, ini akan juga digunakan di Cirebon, Belitung, Bangka, dan wilayah lainnya yang berkontur rata.

Tahun 1906, di mana sudah direncanakan jalur kereta api Bandung - Ciletuh dengan 30 pemberhentian, termasuk di Cikaso dan Citespong. Tetapi, tak kunjung berjalan. Pembangunan jalan juga tersendat, hingga 1924, jalur Ciracap - Ujunggenteng masih belum dibangun secara layak. Sementara Jalur Ciracap - Palabuhanratu baru dibangun pasca selesainya pembangunan jembatan gantung Cimandiri (Bagbagan) yang juga sempat terbengkalai karena banjir.

Keberadaan pelabuhan di Ujungjenteng pun tidak lepas dari jasa Charles Edgar du Perron (Edu), sastrawan dan penulis Hindia Belanda, yang mencari lahan perkebunan di sana.

Pada Agustus 1914, kapal besar De Carpentier dilabuhkan di Ujunggenteng, meski tidak bisa lama karena belum ada infrastruktur dermaga. Kemudian sejak Januari 1925, perusahaan perkebunan sekitar mulai mempergunakan pelabuhan bisnis untuk sebagian pengiriman komoditi.

Pemerintah lalu mengambil alih pengelolaan pelabuhan ini dan memutuskan, sejak 1 Januari 1926, pelabuhan Oedjoenggenteng tidak lagi dianggap milik pelabuhan industri.

Budidaya singkong pada saat itu diinisiasi Cultural Society "Stryker" yang bekerja sama dengan pengusaha Amerika Serikat. Perusahaan ini banyak mempekerjakan orang luar, di antaranya pekerja dari Jawa Tengah dan sebagian dari sekitar Sukabumi utara, Cibadak, dan Bogor.

Penanganan sangat serius dilakukan oleh Tuan Vervooren dengan merancang dermaga yang bisa menampung kapal besar yang juga digunakan oleh perkebunan Tipar dan Cikaso (Franco Nederlanden). Selain itu, peralatan pertanian dan peralatan konstruksi yang cukup canggih. Bangunan pabrik, mes karyawan yang lengkap, dan banyak ahli dari Amerika pun didatangkan.

Keberadaan pelabuhan ini kemudian ditindaklanjuti dengan pembangunan rel lori/tram Decauville untuk mengangkut komoditas dari perusahaan Citespong, Cikaso, dan Tipar. Keberadaan kereta lori atau tramway Decauville tidak berbeda dengan kebutuhan kereta lori di perusahaan gula di Jawa. Ini sangat membantu mengingat kondisi jalan darat di sana sangat buruk, bahkan terisolir dengan ibu kota Sukabumi di utara.

Redaktur: Oksa Bachtiar Camsyah
Video Editor: Safrudin

Video