Catatan Cak AT
Pagi itu, Jakarta seperti ikut khusyuk. Langit bersih, jalanan lengang, udara tidak menyesakkan dada seperti biasanya. Bahkan, polusi tampak seperti ikut mudik. Tapi jangan salah: bukan karena kendaraan tak ada—justru ratusan mobil pribadi berjejer di sekitar Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru.
Jumlahnya bisa bikin Anda berpikir dua kali sebelum cari tempat parkir. Bahkan, tukang parkir pun mungkin ikut bertaubat saking sibuknya mengatur lautan mobil jamaah. Sekitar lima ribuan orang tumplek-blek di lapangan masjid.
Mereka hadir bukan karena ada konser dadakan, tapi karena ada “konser pemikiran”—atau setidaknya konser retorika —dari mantan calon presiden yang, hari itu, naik panggung sebagai khatib Idul Adha: Anies Rasyid Baswedan.
Kali ini, dia bukan politisi. Bukan mantan capres. Bahkan bukan mantan gubernur. Tapi “ustadz dadakan” dengan kutipan Ibnu Khaldun di tangan dan niat keadilan di dada. Dan sungguh, khutbahnya tak main-main.
Kalau biasanya khutbah Idul Adha hanya berkisar pada kisah Nabi Ibrahim, sembelihan Ismail, dan ajakan beli kambing lokal, Anies datang dengan amunisi: kitab _Al-Muqaddimah_, karya filsuf dan sejarawan legendaris, Ibnu Khaldun, yang dibeberkannya panjang lebar.
"Ketidakadilan akan menghancurkan peradaban," katanya mengutip bapak sosiologi yang fenometal tersebut. Sebuah peringatan keras, namun disampaikannya dalam nada lembut dan tenang, seperti nasi kebuli yang baru keluar dari oven.
Anies tidak hanya mengangkat soal kurban sebagai ritual. Ia menyulapnya jadi simbol perjuangan struktural. “Apa yang bisa kita korbankan untuk keadilan?” tanyanya. Pertanyaan yang seharusnya menghantui para elite dan pemilik kuasa.
Jawabannya? Bisa panjang sekali, sepeti menciptakan lapangan kerja, pendidikan yang merata, layanan medis gratis, dan aksi-aksi sosial yahg memberdayakan. Seolah-olah dia ingin berkata: “Kurban bukan cuma soal kambing, tapi juga soal keberpihakan.”
Dan tentu, khutbah soal keadilan dan pengorbanan tidak lengkap tanpa menyentil kota. Kota—dalam khutbah Anies—bukan sekadar beton dan trotoar setengah jadi, tapi cermin keadilan. “Kota yang ditata dengan adil menunjukkan peradaban tinggi,” katanya sambil menyitir Al-Farabi.
Sebuah kritik urban dengan gaya elegan, yang bisa saja ditujukan pada Jakarta kini, atau kota-kota lain yang hidupnya seperti sinetron: panjang, tidak selesai-selesai, dan penuh konflik kelas. Anies meramu pemikiran Ibnu Khaldun dan Al-Farabi soal keadilan.
Yang menarik, Anies menyebut bahwa “kesenjangan bukan takdir, tapi hasil rekayasa.” Nah! Di sinilah khutbah mulai berubah wujud menjadi kuliah umum Sosiologi Perkotaan. Tapi tenang, jamaah tetap diam, khusyuk, mungkin karena selain mendengar, mereka juga sibuk memikirkan cara keluar dari kemacetan pasca-khutbah.
Ia juga menyitir hadits tentang pemimpin yang menyusahkan umat. Dengan wajah datar tapi nada menusuk, ia mengutip hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan Siti Aisyah: “Siapa yang menyulitkan umatku, maka persulit dia.” Sebuah sabda keras, dan entah kenapa terasa seperti subtweet politik.
Mungkin ini khutbah Idul Adha paling akademik yang pernah dihelat di lapangan rumput. Mulai dari kesetaraan di Tanah Haram yang lenyap saat mendarat di Tanah Air, hingga kesulitan shalat subuh kalau tahu tetangga kelaparan. Dari ashabiyah ala Ibnu Khaldun sampai layanan medis gratis ala progresivisme Skandinavia. Semuanya dibalut dalam satu napas: keadilan.
Tentu, sebagian orang mungkin mencibir: “Ini khutbah Id atau kampanye?” Tapi mungkin itu pertanyaan yang perlu dibalik. Sejak kapan khutbah harus steril dari realitas? Bukankah Nabi pun berdakwah sambil membongkar tatanan yang zalim?
Yang jelas, khutbah Anies hari itu menyajikan alternatif: bahwa religiositas tak cukup berhenti di sajadah, tapi harus menjalar ke sistem sosial. Bahwa taqwa bukan cuma takut kepada Tuhan, tapi juga takut menyakiti sesama. Bahwa taqwa juga soal kesetaraan. Dan bahwa peradaban bukan dibangun dengan beton, tapi dengan keadilan.
Apakah semua yang mendengar khutbah ini pulang dengan semangat baru menata kota dan menumbuhkan ekonomi kerakyatan? Belum tentu.
Yang pasti, mereka pulang lewat jalanan yang kembali macet, mencari mobil mereka yang terparkir di trotoar, sambil memikirkan satu hal: apakah kurban tahun depan perlu ditambah satu, khusus untuk menebus ketidakadilan struktural?
Atau cukup satu kambing, asal presidennya adil. Wallahu a’lam bis-shawab.
Selamat Hari Raya Idul Adha, sambil mengamini doa Anies di akhir khutbah, yang begitu panjang dan puitis penuh makna.
Cak AT - Ahmadie Thaha
Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 6/6/2025