Oleh: Rohmat Hidayatulloh
(Mahasiswa Prodi Manajemen Universitas Nusa Putra Sukabumi)
Sebagaimana kita tahu, bulan lalu BI menurunkan tingkat suku bunga acuan mereka sebanyak 25bps dari sebelumnya 7.5 persen menjadi 7.25 persen.
Langkah ini sejalan dengan perkembangan kondisi ekonomi global yang dianggap telah menunjukkan beberapa perbaikan terutama terkait dengan perubahan kebijakan moneter Amerika Serikat yang mulai meninggalkan rezim suku bunga rendah dengan mulai meningkatkan suku bunga acuan Federal Reserve (Fed) atau Bank Sentrak Amerika ke level yang dianggap normal.
Hal diatas sejalan dengan ekspektasi pasar yang memang telah menunggu sekian lama. Harus diakui bahwa Fed lah yang menjadi sumber ketidak pastian selama ini dan menimbulkan volatilitas pasar.
Sebagaimana kita tahu juga kalau tingkat suku bunga di AS telah diturunkan secara signifikan oleh Fed semenjak krisis 2008 ke level angka yang mendekati 0 persen. Hal ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi disana ditengah melesunya perekonomian Amerika pada saat itu akibat dari dampak krisis sub prime mortgage dan menjadikannya sebagai suku bunga terendah semenjak tahun 1950an.
Setelah dianggap sukses menjalankan serangkaian kebijakan yang dinamakan Quanitative Easing (QE) dan hal ini antara lain nampak pada perbaikan angka klaim tenaga kerja (jobless claim) yang mulai membaik, pada pertengahan tahun 2013, Fed mulai memberikan sinyal ke pasar untuk menaikkan suku bunga acuan mereka.
Kepercayaan konsumen mulai meningkat disana yang ditandai dengan kenaikan konsumsi seiring dengan penurunan harga minyak dunia. Penurunan harga minyak dunia akhir akhir ini memang merupakan berkah bagi sebagian besar masyarakat Amerika karena mereka bisa menghemat banyak yang digunakan untuk pengeluaran yang lainnya.
Gejolak Kurs Negara Berkembang
Semenjak tahun 2013 itu hingga tahun 2015, pasar finansial dunia bergejolak yang berpengaruh pada kondisi sejumlah kurs mata uang dunia yang melemah terhadap dollar AS. Gejolak kurs itu dirasakan dampaknya tak hanya pada sejumlah negara "Emerging Markets" (EM) termasuk Indonesia, akan tetapi hal itu dirasakan pula oleh sebagian negara maju seperti Canada, Australia dll.
Dalam kondisi demikian, terjadi arus pembalikan modal balik (Capital Outflow) dari negara-negara berkembang ke negara pemilik modal yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam kondisi fiskal negara yang terkena efek pelarian modal.
Sebagai salah satu negara yang terkena dampaknya, Indonesia juga mengalami kondisi keuangan yang bergejolak dari kejadian ini, terutama dengan nilai kurs yang melemah hingga ke level 14,000 dan juga terdapatnya kondisi defisit valas.
Likuiditas valas cekak dan bank lokal mencari pendanaan dari bank-bank asing yang memiliki kelebihan likuiditas valas pada saat itu. Harus diakui bahwa selama ini defisit anggaran pemerintah dibiayai melalui penerbitan surat utang yang sebagian diantaranya merupakan sumber pendanaan LN.
Kalau dulu Indonesia masih bergantung pada sumber pendanaan yang berasal dari pinjaman bilateral atau multilateral termasuk melalui ADB dll sekarang ini defisit anggaran ditutupi oleh sumber pendanaan yang berasal dari penerbitan surat hutang negara.
Sebanyak 36 persen dari total surat hutang negara dipegang oleh asing, sementara sebagian lainnnya dipegang oleh perbankan nasional dan juga sebagian kecil oleh masyarakat.
Ketergantungan Dana Asing
Pertama, negara (dalam hal ini yang menjadi domain BI) harus mampu mejaga infasi yang rendah dan terkendali. Kedua pemerintah dalam hal ini yang menjadi domain Depkeu, perlu menjaga agar defisit transaksi anggaran tidak melebar. Ketiga melalui pengendalian tingkat hutang LN.
Pada tahun 2015, tercatat pemerintah bersama BI dapat menjaga ke tiga hal tsb dengan baik, terbukti dengan pertama rendahnya tingkat inflasi, kedua tingkat defisit anggaran yang sedikit demi sedikit mulai berkurang dan ketiga tingkat hutang LN terutama sektor swasta mulai terkendali dimana sebagian hutang korporasi yang memiliki tenor pendek-menengah mulai mendapatkan lindung nilai sejalan degan aturan BI yang terbaru.
Langkah Fed dan BI
Pada bulan Desember 2015, Fed mulai menaikkan tingkat suku bunga mereka setelah dunia menunggu beberapa lama. Langkah ini sudah diantisipasi oleh pasar sebelumnya, sehingga tidak menimbulkan efek yang siginfikan pada pasar keuangan. Disinilah BI kemudian merespon dengan mulai melakukan kebijakan pelonggaran moneter melalui penurunan suku bunga acuan mereka.
Disamping suku bunga acuan, BI juga telah menurunkan tingkat suku bunga O/N dan lainnya pada kisaran sebesar 30-45bps, sehingga kalau hal ini dibaca oleh pelaku pasar, BI sebenarnya telah melakukan pengurangan suku bunga yang lebih besar dari sekedar 25bps.
Sebelumnya BI juga telah melakukan sejumlah langkah kebijakan moneter lain melalui penetapan Giro Wajib Minimum (GWM) yang semula 8 persen menjadi 7.5 persen bagi bank umum. Dengan adanya langkah BI tersebut, diperkirakan terdapat sejumlah Rp. 18 triliun yang mengalir ke dalam sistem perbankan dalam negeri.
BI juga membuka ruang bagi penurunan GWM ke angka 5 persen, sebuah angka yang pernah ditetapkan sebelumnya. Jika demikian masih terdapat potensi pengucuran likuiditas sebesar Rp. 90 triliun apabila kebijakan penurunan tingkat GWM benar-benar terlaksana hingga 5 persen.
Harapan BI
Terkait penetapan pricing deposit, BI juga mengharapkan agar bank komersial segera menurunkan tingkat suku bunga mereka untuk mempercepat penyerapan kredit yang dapat mendorong perekonomian dengan mengacu pada sejumlah tingkat suku bunga BI yang bertenor sama.
Tentunya semua ini baru bersifat imbauan kepada bank dan kembali tergantung pada kondisi likuiditas bank masing-masing dan kondisi rentabilitas yang dapat menopang keberlangsungan bisnis bank.
BI juga menengarai bahwa tingginya biaya dana bank lebih disebabkan oleh keinginan pemilik deposito untuk mendapatkan bunga tinggi bagi deposito mereka yang bernilai diatas Rp. 2 milyar. Tercatat saat ini lebih dari 200 ribu rekening dengan jumlah rekening diatas Rp. 2 milyar (data LPS) dari total keseluruhan rekening yang jumlahnya sebanyak 160 juta rekening yang ada di Indonesia.
Sementara itu ke 200 ribu rekening tadi memberikan porsi 57 persen dari total jumlah deposit yang ada. Hal inilah yang menyulitkan bagi bank untuk segera menjalankan misi yang diamanatkan BI tadi.
Salah satu hal yang menjadi alasan BI untuk penurunan tingkat suku buga deposito adalah turunnya angka inflasi. BI memprediksikan bahwa kodisi ekonomi Indonesia tahun 2016 diharapkan akan lebih baik dari sebelumnya, dimana faktor Fed telah diperhitungkan oleh pasar (priced in).
Namun BI menilai bahwa faktor China akan menjadi penentu dari semua ketidak pastian dimana harapan akan kembalinya pertumbuhan ekonomi China akan dapat mendorong kembalinya harga komoditas yang selama ini telah melorot hingga 50 persen - 80 persen.
Suatu yag pasti dan menjadi catatan bersama adalah ketimpangan struktur ekonomi kita yang lebih menggantungkan pada ekspor komoditas di masa lalu, dimana hal ini mencerminkan 50 persen dari total keseluruhan ekspor Indonesia dan telah menjadi faktor risiko yang kurang dipehitungkan bagi negeri ini.
Indonesia ke depan mesti lebih fokus dan memiliki arah strategi pembangunan yang jelas dan jangan sampai gagal belajar dari pengalaman yang lalu. Semoga kedepan perekonomian kita akan semakin lebih baik lagi.
Sumber Artikel : Yunus Shahab, Alumni FEUI 1986, sebelumnya bekerja pada JPMorgan Chase Bank N.A. (2007-2015)